5 Detik Sebelum Gelap ...

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Religion & Spirituality
Author:Ramadhan Adhi
“Tak sekedar cahaya yang berada diatas cahaya, namun cahaya surga yang hanya akan nampak lewat sebuah teropong jiwa yang tidaklah hampa dalam naungan agama …”

Berada disini tak satu waktupun pernah terpikirkan olehku. Masih terasa dalam pikirku sengatan panas matahari siang itu, atau bahkan hempasan angin panas yang datang disertai kerikil kecil ditepi jalan, atau bahkan juga cipratan genangan air di jalan itu …ah… Aku tak pernah menyangka episode ini hanya berlangsung singkat, ya … singkat sesingkat 5 detik menuju gelap yang kurasakan …

Lolongan panjang kereta ini masih belum berhenti ketika aku terperanjat dalam tidurku. Aku tersadar, tanganku masih memegang sebuah besi yang melintang tepat diatas kepalaku. Dihadapanku seorang nenek tua masih setia mengunyah daun sirihnya, disampingnya seorang gadis menemaninya sambil mengajak nenek itu melihat hamparan sawah yang kini tak lagi hijau, diujung gerbong sana sekelompok pemuda dengan asyiknya menyanyikan sebuah lagu diiringi suara gitar yang kadang ditimpali juga dengan drum unik buatan mereka, dilengkapi dengan teriakan mbok minah yang menawarkan gorengannya… sejenak aku menarik nafas, sesak yang kurasakan sedikit terobati dengan kehadiran mereka. Bukan karena aku senang dengan penderitaan bahkan susah payah pengorbanan mereka dalam mengais rejeki hari ini, namun saat ini aku hanya berpikir setidaknya masih ada mereka yang mungkin hampir sama merasakan apa yang kini aku rasakan.

“Ya, kenapa tidak?”, hatiku segera menyambut perasaanku ini.
“Siapa tahu, sekelompok anak muda yang diujung gerbong itu, mereka mungkin juga kecewa akan masa depannya karena tidak bisa melanjutkan kuliah seperti yang mereka cita-citakan, atau bahkan bukan tidak mungkin juga mbok minah yang dari tadi berteriak-teriak menjajakan gorengannya itu juga demi mempertahankan kuliah anaknya yang sudah setahun lalu masuk di sebuah perguruan tinggi”.
Ah…, lagi-lagi perasaan ini memaksaku untuk menarik napas panjang, rasanya tak ingin aku membuangnya, biarlah mengisi jantungku selamanya sampai akhirnya aku benar-benar tak bisa melepaskannya.

Aku masih ingat saat itu, disaat aku hentakkan kaki ini pada anak tangga yang dengan setianya menopang angkuhnya sebuah bangunan rektorat universitas itu. Sejuta harap yang saat itu kubawa, sesaat kemudian lenyap tak bersisa. Sejuta cita yang dulu ada juga kini hilang terbang entah kemana.

Sebuah senyum dari bibirku muncul ketika aku mengingatnya, ya… sebuah kenangan manis itu telah membawaku menapaki episode itu. Sebuah surat kabar pagi itu aku acungkan, sambil teriak ku berlari menuju rumahku saat itu, “Ma…., alhamdulillah aku lulus SPMB … “. Ya, sebuah kenangan yang mungkin tak pernah dan tak akan pernah dilupakan oleh orang-orang yang pernah mengalami hal ini. Akhirnya penantian selama satu bulan setelah masa ujian SPMB tersebut, kini usai sudah. Sujud-sujud panjangku di sepertiga malam pada-Mu Rabb, kini terjawab sudah dengan apa yang sekarang aku hadapi. Syukurku, tak henti-hentinya kuucapkan pada-Mu.

Meskipun akhirnya aku tahu konsekuensi yang akan aku terima, aku harus jauh dari ibuku, kakak-kakakku bahkan semua orang yang selalu menyayangiku. Jurusan Teknik Kimia di Fakultas MIPA salah satu Universitas Negeri di ujung pulau Sumatera telah menantiku disana. Aku coba untuk menghilangkan perasaan kesedihan yang hadir karena harus rela berpisah dengan mereka. “Semua ini demi masa depan… semua ini demi masa depan !!!”, tekadku saat itu.

Bentangan laut kini bukan lagi hanya ada dalam mimpiku, aku berada disana, ya … berada disana, dimana setiap orang tak akan mampu jika Alloh menaqdirkan kami untuk terhempas dan tenggelam. Pulau jawa yang membesarkanku kini perlahan semakin mengecil dan berubah menjadi sebuah titik yang sesaat lagi mungkin akan hilang dalam pandangku.

Sementara itu, dini hari di Bakauhuni membawaku untuk memulai episode itu, aku menapakkan kaki untuk pertama kalinya di negeri seberang sana. Wajar memang kalau aku merasakan hal ini, dari kecil aku tak pernah bepergian jauh apalagi sampai lintas pulau seperti ini. Aku tumbuh dalam lingkungan keluarga yang jauh jika dikatakan dari serba ada. Aku dibesarkan oleh ibuku bersama kedua kakak perempuanku. Ayahku meninggal ketika aku masih berusia 2.5 tahun. Hingga kini aku tak pernah bisa mengingat kenangan bersama ayahku, yang jelas ayahku tak pernah bisa aku temui meskipun hanya dalam mimpi … hanya bayangan harap yang terus mengajaku untuk bisa mengulang kembali cerita indah bersamanya 20 tahun yang lalu, ketika beliau masih ada bersama kami ...

Alloh maha adil, begitulah pikirku saat itu. Dia memberikan kami kesempatan untuk bisa merasakan indahnya menuntut ilmu bersama seperti anak-anak lainnya yang memiliki orang tua lengkap, ada ayah dan ibu. Selalu ada pertolongan Alloh, yang membawaku menapaki hal ini. Bantuan dari sebuah yayasan amal ataukah beasiswa dari pemerintah ikut memegang andil pada kehidupanku hingga kemarin sampai aku lulus SMU. Seperti juga sekarang ini, disaat aku lulus SMPB, aku berkesempatan mengikutinya karena aku lulus seleksi untuk menerima beasiswa BMU (Beasiswa Melalui Ujian) SPMB yang diberikan oleh pemerintah, dengan fasilitas mendapatkan formulir SPMB gratis, Uang saku selama pelaksanaan SPMB serta mendapatkan beasiswa biaya pendidikan tahun pertama jika aku lulus diterima di Perguruan Tinggi pilihanku saat itu. Dan kini ..., harapan itu sudah ada didepan mataku, “...aku bisa kuliah tanpa menyusahkan ibuku...”, pikirku.

Alasan ini yang menambah keberanian aku untuk melintas ke pulau Sumatera ini.

Sesaat kemudian aku hanya bisa merenung, kecewa ? mungkin hal itu yang aku rasakan saat ini. Setelah 3 jam menunggu untuk bisa bertemu dengan pihak Rektorat kampus itu, namun ternyata satu pil pahit harus rela aku telan dari mulutku. Seorang bapak-bapak menghampiriku dan berdiri didepanku tanpa duduk bersamaku, dengan nada sombongnya dia berkata, “Kami tidak bisa membantu adik, karena beasiswa yang adik dapatkan itu paling bisa adik terima sekitar 1 sampai 1.5 tahunan lagi, dan adik sekarang harus melakukan registrasi seperti calon mahasiswa lainnya.” Itu berarti aku harus membayar segala macam uang pendaftaran, uang kuliah, uang sks, serta biaya tektek bengek lainnya.
Aku meraba saku celanaku, 6 lembar ratusan ribu masih ada disana. Uang ini hasil pinjaman ibuku, entah darimana yang jelas sebelumnya aku kira bakalan segera bisa aku bayar dengan beasiswa yang aku dapatkan kalau aku sudah mulai kuliah disini. “Seandainya aku bayarkan uang ini untuk biaya itu, mungkin aku bisa seperti mereka meraih cita-cita dikampus itu..., tapi persoalannya tidak hanya sampai disana, aku juga harus memikirkan dimana aku harus berteduh ?, atau juga dimana aku harus makan ?, ya ... setidaknya sampai aku bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa aku lakukan sambil aku kuliah disana ...”.

Siang itu, semilir angin dari rimbunan pohon itu tak lagi mengajakku untuk menikmati hijaunya kampus itu, namun seperti menghempaskanku ... jauh dari mereka, jauh dari kesombongan dunia. Satu minggu jadi perantau, kini melekat pada diriku. Setelah aku pamit kepada orang masjid yang aku tempati selama seminggu ini, aku berjalan menuju terminal bis sampai akhirnya mengantarkanku kembali menemukan sebuah titik yang sempat hilang dalam pandangku. Pulau jawa, akhirnya aku kembali ...


Sedih, kecewa bercampur menjadi satu. Ini kali kedua buatku menelan pahitnya menggapai cita ini, setelah sebelumnya aku juga harus rela melepas kesempatan untuk meraih cita-citaku di sebuah universitas negeri ternama di kota Jogja. Teknik Arsitektur yang sempat menjadi cita-citaku dari kecil, juga hilang seperti kini. Padahal sebuah kesempatan langka itu juga aku peroleh dari PMDK, yang diberikan padaku sekitar 3 atau 4 bulan yang lalu, sampai akhirnya sama persis seperti saat ini, aku harus merelakannya terbang dan menghilang ...

01.00 dini hari aku termangu didepan rumahku, aku menggisik kedua mataku, siapa tahu ini hanya mimpi. Tapi ternyata bukan, ini benar-benar terjadi. Aku kembali disini, dimana aku mengharapkan mereka yang pernah menyayangiku, masih tetap menyayangiku seperti dulu atau setidaknya satu minggu yang lalu, sebelum aku mengalami episode itu. Perlahan tirai pintu rumahku tersibak, aku lihat disana seorang ibu melihat setengah tak percaya kearahku. Kami akhirnya bersama lagi, dengan mereka. Mungkinkah ini taqdir Alloh? ataukah aku yang salah mengambil keputusan saat itu ? Wallohu'alam ... yang jelas ibuku hanya mengatakan bahwa Alloh akan selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya.

Semua sudah aku ceritakan pada mereka, ada raut kesedihan yang aku lihat pada wajah-wajah mereka. Ya, aku tahu, mereka juga pasti merasakan hal yang sama, iba akan apa yang aku dapatkan saat ini.

Dua hari kemudian sebuah kabar aku terima dari sepucuk surat yang dikirim lewat pos tadi pagi. Sebuah Perguruan Tinggi Swata di kota Bandung memberikan kesempatan kepadaku untuk melanjutkan sekolah disana. Ibuku yang saat itu mengerti apa yang aku rasakan telah mendorongku untuk mencobanya. Hingga akhirnya aku mengurusi semuanya, yang mengantarkan aku pada kehidupan layaknya seperti teman-temanku lainnya. Kampus, ruang kuliah, perpustakaan, masjid menjadi bagian dari hari-hariku saat itu. Dan kini, 3 bulan telah berlalu.

Sebuah Ujian Tengah Semester pertama kalinya telah menanti kami, para mahasiswa baru. Langkahku menuju ruang BAAK, terhenti sesaat setelah sekilas aku membaca pengumuman di papan informasi kampus. Tertera jelas tertulis disana “... Kartu Ujian hanya dapat diperoleh bagi mahasiswa yang telah melunasi semua biaya administrasi ...”.

Aku memutar tubuhku 180 derajat berbalik arah dan kembali. Sampai akhirnya selang waktu berlalu, kerikil jalanan itu menghempaskanku pada keangkuhan dunia saat itu. Perlahan aku meninggalkan tempat yang mungkin setelah sebelumnya aku titipkan harapan lama yang dulu pernah hilang untuk bisa dirajut kembali disini.

Pada awal perkuliahan aku hanya membayar setengah dari biaya administrasi kuliah, setelah sebelumnya dipotong beberapa potongan beasiswa sesuai apa yang ditawarkan padaku pada surat yang pernah dikirim kepadaku waktu itu. Sisanya ... ?, aku hanya menarik nafas panjang.

Kakak perempuanku saat ini sedang sakit. Alloh SWT memberikan ujian kepadanya, disaat ia merangkai harinya dalam kesibukannya sebagai seorang karyawati swasta di sebuah koperasi dikotaku, serta sebagai seorang mahasiswa jurusan Manajemen Bisnis, kelas Ekstensi di sebuah Institut Koperasi ternama di Bandung. Jangan heran, sekali lagi mungkin aku perlu jelaskan bahwa sebuah pandangan yang ada pada keluarga kami adalah bahwa pendidikan itu penting. Kami meraihnya bukan karena kemampuan finansial kami, semua kami peroleh dengan bantuan serta beasiswa. Ya... seperti yang aku dan kakaku dapatkan saat ini.

Penyakit yang dideritanya, mungkin sampai akhirnya bertambah ketika lambat laun mengetahui bahwa aku sudah tidak lagi kuliah, setelah semula aku mengelak bahwa ada satu minggu masa tenang sebelum ujian. Akhirnya mungkin diketahui juga. Padahal ada harapan yang ia titipkan dalam hari-harinya untukku meraih masa depan hidup ini.

Sampai akhirnya ... Alloh SWT memanggilnya kembali menghadap keharibaan, meninggalkan segala kefanaan hidup ini. Tinggalah kami yang sangat mencintainya termenung menatap hari-hari hampa tanpa kehadirannya.

Ya Alloh ... semoga rahmat serta ampunan-Mu senantiasa tercurah pada kakakku ...

Saat itu aku tengah bekerja di sebuah dealer perangkat komputer di kota Bandung. Ada satu kekecewaan yang aku rasakan, ketika sebuah janji yang pernah aku sampaikan suatu hari pada kakakku di tempo hari untuk bisa belanja bersama setelah aku dapat gaji pertama, kini hanya tinggal kenangan yang aku bungkus dan simpan rapat-rapat dalam lubuk ingatanku ... sampai akhirnya semuanya gelap kembali.

Hari-hariku semakin tak bisa kudapati arahnya entah akan kemana nantinya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat kerjaku.

Aku baktikan hidupku untuk bersama dengan ibuku yang kini hanya sendiri di rumah kami, setelah beberapa bulan yang lalu kakak perempuanku yang pertama menikah. Aku dan ibuku mencoba untuk lebih memaknai hidup ini, hari-hari kami isi dengan lebih banyak mendekatkan diri pada Illahi. Sebuah stasiun radio islami telah menjadi salah satu pautan hati kami untuk mengisi hari.

Sampai suatu hari, aku dapatkan informasi dari radio itu tentang sebuah beasiswa pendidikan yang akan diberikan sebuah perguruan tinggi, lengkap dari mulai biaya pendidikan, biaya asrama, uang saku, makan, dan keperluan lainnya. Semua ditanggung oleh kampus tersebut, asalkan kami yang berminat dapat menempuh tahapan demi tahapan seleksi dari padanya. Dan kembali, sujud syukurku kuhadirkan pada-Mu ya Rabb, aku berhasil melewati tahapan-tahapan tersebut.

Tiga tahun keberadaanku disana, memulai segalanya termasuk merintis kembali angan dan cita-citaku yang entah berapa lama terkubur. Alhamdulillah, kalimat-kalimat tahmidku mengiringi hari-hariku disana bersyukur atas beribu nikmat dan kesempatan yang senantiasa Alloh berikan.

Dan kini perjalanan panjang itu telah mengantarkanku untuk tak henti-hentinya merasakan nikmat-Nya kembali. Belum aku menyelesaikan pendidikanku di perguruan tinggi tersebut, Alloh kembali memberikan kesempatannya kepadaku untuk bisa membantu keuangan keluargaku. Aku diterima disebuah perusahaan IT di Jakarta. Kini, semestinya tak ada lagi yang aku ragukan akan skenario daripada Alloh tiap episode-episode nya pasti mengandung hikmah yang dapat membawa kita menuju keberkahan. Subhanalloh, tanda-tanda kekuasaan Alloh yang aku rasakan saat ini.

Ada senyum bangga dan bahagia ketika ibuku memeluk tubuhku sambil tersenyum dan berkata “Bersyukurlah anakku ....” aku menganggukan kepalaku, tiba-tiba aku merasakan diriku terhempas dan jatuh.

Aku tersadar, teriakan orang-orang disekitarku telah menyadarkanku akan apa yang terjadi, kereta api yang aku tumpangi keluar dari jalurnya pada kecepatan yang tinggi, sebuah jurang telah menunggu kami didepan sana, dan akhirnya ...

Gema takbir menyambut kemenangan ummat islam setelah sebulan penuh berperang melawan hawa nafsu. Ada rasa bahagia yang hadir pada jiwa-jiwa insan menyambut hadirnya hari nan fitri. Namun, rasa itu tak bisa aku menggapainya. Sebuah kereta api yang mengangkut ratusan orang penumpang, keluar jalur dan jatuh ke jurang menjadi headline berita berbagai harian ibu kota hari itu. 57 orang penumpang dinyatakan meninggal dunia, 114 luka berat dan ratusan lainnya luka ringan. Aku berada diantara yang 57 setelah 5 detik sebelumnya mengantarkanku untuk mengucap laailaaha illallaah, dan sesaat kemudian dunia senjadi gelap.

Dan kini, aku hanya bisa menangis ketika tangan-tangan ini tak bisa menyambut pelukan lembut ibuku. Maafku, semoga meskipun tak sempat bibir ini mengucap kata itu, serta tangan ini tak bisa menyentuh tangan halusmu, tapi ridho-Mu ... mengantarkanku menemui-Nya dalam ampunan.

20 Ramadhan 1427 H
Ramadhan Adhi

4 komentar:

  1. haiiii.!!!
    salam kenal dik2..!!
    gw salut ma MP mu,isi nya nyentuh bgt.
    mudah2an smua yg baca MP mu bisa safar bahwa kita hidup cuma sementara.
    kehidupan yang abadi sebenar nya sedang menunggu kita. betul kan?

    BalasHapus
  2. Yap, salam kenal juga ...
    Memang betul kang, salah satunya adalah makna tersebut yang saya coba tampilkan di tulisan-tulisan yang saya posting ke MP
    :)

    BalasHapus
  3. subhanalloh....luar biasa kisah ini. Tak ada satu kejadian pun tanpa rencana Allah. Allahu Akbar...Allah sangat menyayangiku, dengan menunjukkan tulisan ini, agar aku bisa mensyukuri nikmat dan karunia-Nya...Amin.

    BalasHapus
  4. adek cuma bisa nangis doank. gak bisa kasih komentar

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.