Karena Aku bukan Fahri !

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Udara memang begitu panas. Matahari tak kalah teriknya bersinar dan menari-nari diatas kepala. Sesekali terpaan angin menghembus menusuk badan seakan mengepulkan asap dan menyemburkan aroma bau dari neraka.

Ruangan sempit berukuran 3x3 meter telah menghimpit ruang waktu dalam satu sisi hidup. Aku berjalan menuju arah jendela, tidak lebih dari tiga langkah dari tempat awalku berada.

Aku terdiam.

Dari sana aku dapat melihat bangunan kotak-kotak, namun bukan bangunan kotak berwarna putih, hanya bangunan kotak yaitu gedung-gedung perkantoran yang berlapis kaca. Ya... karena ini bukan flat-nya fahri di negeri kinanah sana, namun ini hanya kamar kontrakanku yang berada diantara sekian bangunan yang terhampar di kota Jakarta.

Aku rebahkan tubuh ini. Sesaat kemudian keringat mengalir dari sela-sela pori seakan sebuah mata air yang meliuk diatas tanah yang gersang.

Sebuah dering berbunyi dari ponselku, aku baca, ternyata sebuah alarm pengingat atas sebuah janji yang pernah aku buat dengan seseorang. Ah, aku hampir terlupa. Ya... itu karena aku bukan Fahri, yang senantiasa memperhitungkan segala rencana yang akan ia lakukan dalam hidupnya.

Aku beranjak dan berkemas. Tidak ada kacamata hitam, tidak ada tas cangklong yang biasa menemani seorang Fahri, hanya sebuah tas ransel berwarna hitam yang kini melekat di punggung serta sebuah kacamata bening berbingkai yang sesaat kemudian berada di wajahku. Ya... itu karena aku bukan Fahri.

Sampai di halaman, tidak ada suara Maria yang memesan dibelikan disket dari arah atas kamar kost-ku, karena tak ada lagi kamar diatas kost-ku. Lagi-lagi aku katakan bahwa itu karena aku bukan Fahri, yang memiliki tetangga dari kalangan kristen koptik yang sangat menaruh hormat pada tetangganya. Tetanggaku hanya sepasang suami istri yang kamar kost-nya berada disamping kamarku, perbincangan kamipun tak banyak tercipta karena mungkin entah aku ataupun mereka terlalu sibuk dengan masing-masing aktifitasnya.

Matahari masih menyala-nyala, menebarkan aroma bau dari neraka. Aku berjalan menuju sebuah masjid hendak menunaikan dzuhur yang sesaat lagi akan menjelang. Sesaat kemudian dzuhur tiba. Tak ada syeikh muda yang dengan tegapnya memimpin kami sholat berjamaah, hanya seorang ustadz tua yang sesekali mesti terbatuk dalam sela-sela gerakan shalatnya.

Usai berjamaah aku lanjutkan perjalanan menuju sebuah halte dan menunggu sebuah metromini yang akan membawaku menuju sebuah tempat pertemuan. Tidak ada metro, tidak ada seorang kapten yang menjual karcis untuk menaiki metro. Yang ada hanyalah seorang bapak yang telah berkeluh dengan keringat menghampiri kami satu persatu penumpang, menagih ongkos perjalanan dari kami. Aku sadar betul ini semua, ya... ini karena aku bukan seorang Fahri.

Beberapa lama aku berada didalamnya tak ada tiga orang bule berpakaian dengan corak bendera amerika masuk kedalam metromini. Hanya seorang kakek tua yang dipapah oleh seorang bocah kecil menuju sebuah kursi didepan sana. Ah... aku makin mantap, ini karena aku bukan seorang Fahri.

Seorang akhwat berjilbab masuk. Ia hanya terdiam. Tak ada percakapan dalam bahasa Inggris yang fasih, tak ada perkenalan darinya bahwa ia berasal dari negeri Jerman. Sesaat tak lama kemudian ia turun kembali. Hanya sebentar. Dan itu cukup memperkuat pernyataanku, bahwa ia bukan Aisha. Ya... karena akupun bukan seorang Fahri, gerutuku dalam hati...

Selama perjalanan tak ada mahasiswa-mahasiswa yang dengan khusyuk dan asyik membaca mushaf Al Quran, menghapalnya berulang-ulang dalam sela waktunya. Yang ada hanya obrolan-obrolan yang entahlah akupun tak begitu memahaminya. terlalu banyak istilah yang terasa asing dalam pendengaranku.

Sesampai ditempat yang telah dijanjikan aku menunggu untuk beberapa waktu. Menunggu dan menunggu. Sampai akhirnya waktu telah banyak berlalu ...

Ternyata benar, ini bukan cerita itu. Dan akupun bukan seorang Fahri yang mendatangi seorang Syeikh Utsman untuk talaqi Qira'ah Sab'ah. Dan ia yang telah membuat janji denganku pun bukan ia, syeikh Utsman yang meski dalam cuaca begitu panasnya, namun masih tetap memegang teguh janjinya.

Hingga akhirnya aku kembali dengan tangan hampa. Kembali menuju satu ruangan 3x3 meter yang telah menghimpit satu ruang waktu dalam hidupku. Hingga menyadarkan sepenuhnya bahwa aku bukan Fahri ...

Dan aku kembali terdiam. Haruskah kita hanya selesai berkata, bahwa kita bukan dia seorang yang memiliki banyak sikap dan sifat terpuji, yang padahal sepatutnya untuk kita teladani?

Seperti halnya ketika kita berbicara tentang ia sang Rasul Alloh, kita hanya berhenti berujar bahwa kita tak mungkin bisa mengikuti kemuliaan akhlak beliau tanpa kita pernah mencoba untuk mengikuti jejak langkahnya? Mengikuti jejak langkah orang lain tak ada salahnya selama apa yang kita ikuti adalah suatu hal yang memang pantas untuk kita teladani.

Mari kuatkan dan azzamkan dalam hati. Kita mulai dari diri sendiri untuk berusaha mengikuti jejak-jejak langkah orang yang patut kita teladani, tanpa kita menghilangkan identitas diri sebagai pribadi diri kita sendiri.

Wallahu'alam bish-shawab

38 komentar:

  1. pandai merangkai kata ya mas dik..kapan nih bikin novel he..he..

    BalasHapus
  2. (^_^) jadi penasaran pengen baca novelnya lagi...

    BalasHapus
  3. ya subhanallah...
    antum keren broo..

    BalasHapus
  4. hehehe...jadi kangen fahri aku....
    *mo baca lagi novelnya aahhh*

    (Rasulullah teladan paling utama)

    BalasHapus
  5. Hehehehe yang begitu terobsesi ma novel..

    BalasHapus
  6. wow...blom pernah aku kebayang nulis tentang diriku dengan perbandingan tokoh novel...(bener tokoh novel kan?)...good story

    BalasHapus
  7. kayaknya mas ini penggemar ayat2 cinta ya.:D

    BalasHapus
  8. wah, wah, 'penampakan' fahri ada dimana mana nih..hehe

    mas, sapa tau kalo dilanjutin jadi AAC 2..
    settingnya ga lagi di Kairo.. ehehe..
    fahri udah balik kampung, n dah ngekos.. ehehe..

    kidding bro..

    gud stori :D

    BalasHapus
  9. :)
    "Semoga kita semua bisa mengikuti jejak rasulullah, sebaik-baik teladan yang Allah berikan"

    BalasHapus
  10. hmmmmm semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan pada hatiku mas.. makasih..

    BalasHapus
  11. iya, aku juga bukan fahri, aku hanyalam manusia biasa...:-) sebagaimana Fahri yang sebisa mungkin mengikuti MANUSIA TERBAIK SEPANJANG SEJARAH KEMANUSIAAN. Muhammad SAW

    BalasHapus
  12. hmmm bagus banget tulisannya... ^__^

    BalasHapus
  13. hmmm... very nice article indeed...
    terima kasih banyak...

    BalasHapus
  14. Itz more than juz a reprimand 4 ME... JazaakaLLOHU khoiir, Kang Dik2... :)

    BalasHapus
  15. he....he....he....pada demam fahri nih ye??! yang akhwatnya mengidolakan fahri sebagai sosok ikhwan sejati (alaah...apa coba?!)

    BalasHapus
  16. Walau Rasulullah adalah teladan utama, mestinya kita boleh meneladani manusia karena sifat-sifat baik dalam dirinya, yang ingin kita tiru ^_^
    Penuturannya indah banget ^_^, memang karya2nya kang ABik seolah ditulis dari hati yang paling lembut, sehingga begitu menyentuh jiwa

    BalasHapus
  17. simple story...good description...

    Rasulullah teladan sejati..

    mantapkan hati percayakan jiwa mengikuti ucap langkah sikap berdasar Al Qur'an dan Sunnah

    BalasHapus
  18. Ingin seperti Fahri Dek?.... :D bukan hanya untuk dapat pendamping seperti Aisha (dan Maria) kan? :D .... hehehehe.

    *Henteu atuhnya?!

    --heureuy ajah, bukan su'udzhan ini mah... --

    BalasHapus
  19. ya memang bukan fahri tho ,dikdik kan

    BalasHapus
  20. assalamualaikum
    Rasulullah SAW lah sebagai panutan utama kita, bukan fahri, bukan Yusuf Qordowy, bukan Nasrudin Albani bukan pula diri kita
    semoga Allah SWT membimbing kita untuk senantiasa berpegang teguh dalam Dien-nya

    BalasHapus
  21. Dasar,,,,, terobsesi banget sih sama si Fahri....
    Tau ngga kata Kang Abik... Fahri itu belum sempurna.
    Masih ada yang lebih sempurna lho...

    BalasHapus
  22. he..he.. mas dik2 benar benar penggemar ayat ayat cinta nih...sampai hafal sebegitu rupa....aku udah tamat sih baca novelnya..tapi bacanya sambil lalu ajah..abis terlalu sempurna ...kayak cerita di manaaaa gitu yang aku sendiri enggak tau tempatnya...apalagi saat fahri ditawarin atm itu...almakkkkkkk enak teunan...he..he.. namun gaya bahasamu dalam mencurahkan isi hatimu ini, jujur mas dikdik "indah"......

    BalasHapus

  23. Myspace Animated Comments & Graphics
    Keeeeeereeeeen

    BalasHapus
  24. kalu di indonesia banyak yang protes...
    Fahri kok kayaknya keren abis siy *baca sempurna*
    kata kang abik (dibahasakan oleh saya) *yg kek Fahri mah betebaran di mesir* :-)

    BalasHapus
  25. wah setuju bgt neh sama pendapatnya sahabat masoed. kalu dilanjut kayaknya kudu ada aac 2. yang ceritanya fahri jadi ngekos gtu deh. dan kerjanya di telkomsel.terus punya adek yang akhwat reman abis,astaghfirullah.hehhehehheheh

    tapi benar juga kata mas agung kencana. fahri bukan panutan kak, itu hanya fiksi belaka.

    aku lebih suka dengan pemuda yang senyumnya sedikit, tapi lucu di chating. yang pernah kasih adeknya sesuatu yang bermanfaat bgt.yang gak perlu berlama-lama kenal dengan akhwat badung yang sekarang jadi adek seimannya, yang selalu sabar nunggu tuk dikasih buku pelajaran bahasa arabnya walau pun nunggu mpe jam 5 sore,yang rela dan ikhlas dengar adeknya share walaupun dah waktunya pulang. yang siap sapa dan jawab walaupun icon smilenya busy.

    aku lebih sepakat dengan kata-kata kakak yang terakhir itu, "meneladani tanpa perlu menghilangkan jati diri."

    itu lah kakak, kak dhika yang adek kenal. yang tak pernah ucap nama adek walapupun sekali semenjak kita kenal dulu. itulah kakak, orangyang sudah ku anggap sebagai kakak aku sendiri. belum tentu fahri akan seperti itu, fahri akan banyak pertimbangan, fahri akan mencoba bersedikit cakap dengan wanita bahkan mungkin tak akan mencoba tuk mengakrabkan dirinya.

    karena adek tahu, FAHRI BUKAN KAKAK, dan KAKAK bukan FAHRI. karena kakak adalah kakak untuk semua adeknya

    (wassalamualaikum)
    nunu

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.