Setengah Sajadah
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
"Kok sajadahnya dilipat dua kek?", tanya seorang bocah berusia sekitar tiga tahunan kepada seorang kakek tua yang sebagian rambutnya sudah tidak lagi hitam, namun kini bersulam dalam dua warna.
Kakek tua itu hanya tersenyum dan menatap cucu lelakinya itu kemudian mempermainkan rambut pirangnya.
"Sudah, ayo ikuti kakek, kita sholat sunnat dulu!", ajaknya. Sesaat kemudian mereka berdua larut dalam penghambaannya, mempersembahkan kembali rukuk dan sujudnya pada Ia yang maha kuasa. Usai mereka salam, tak lama kemudian waktu berselang, iqomat berkumandang. Kami semua berdiri dan bersiap untuk melaksanakan sholat berjamaah. Shaf-shaf kini tertata rapi memanjang dari ujung kiri hingga ke kanan ruangan masjid itu. Kakek tua itu lalu membuka lipatan sajadahnya, untuk kemudian meletakkannya dengan arah memanjang, hingga kini terbagi menutupi dua bagian tempat sujud, baginya dan bagi seorang pemuda asing yang berada disampingnya. Bagian atas sajadah itu ia sengaja ia letakkan dibagian tempat sujud pemuda tadi. Sang cucu terheran melihatnya. Dan akupun tertegun saat itu. Namun segera kami mencoba menata kembali segala pikiran untuk berupaya dapat mempersembahkan shalat terbaik pada-Nya.
Setelah sholat, usai dzikir sejenak, kemudian kakek tua tadi berdiri dan beranjak hingga kemudian berlalu pergi bersama cucu lelakinya. Sekilas masih kudengar pembicaraan mereka ketika meninggalkan tempat sholatnya semula. Rupanya cucu lelakinya masih penasaran dengan tingkah kakeknya yang melipat dua sajadahnya ketika ia sholat sunnat, dan kemudian membukanya kembali lipatan sajadahnya menjadi dua bagian ketika berjamaah menjelang.
"Inilah artinya islam", sahutnya mengawali penerangannya pada sang cucu.
"Islam itu rahmatan lil'alamiin, yakni rahmat bagi sekalian alam. Wujudnya adalah dengan ber-Islam, maka salah satunya kita sebagai umatnya harus mampu menjadi rahmat pula bagi semua orang", lanjutnya panjang lebar.
Aku nggak tahu bagaimana rona wajah serta gerak pikir bocah lelaki tadi menangkap penjelasan dari kakeknya. Namun yang jelas aku begitu malu mendengar apa yang disampaikan kakek tua tadi pada cucunya.
Memang, mungkin entah sejak kapan kita mengenal bahkan sampai hapal diluar kepala akan sebuah ungkapan bahwa Islam itu rahmatan li'alamiin, yang dalam aplikasinya seharusnya memang akan selalu mampu menghadirkan cahaya kedamaian, cahaya rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi orang-orang yang tunduk dan patuh dalam ke-Islam-annya, namun pula bagi semua orang yang ada disekitarnya.
Namun, ternyata sepertinya begitu sulit hal itu terwujud dalam keseharian kita. Islam yang memang diturunkan oleh Alloh sebagai rahmatan lil'alamiin justru menjadi seakan sulit menjadi nyata. Kita selalu memaksa hari-hari yang kita lalui seakan kembali dan selalu berputar kembali pada satu arah yang sama, dan menempati posisi yang sama pula, kita sebagai ummat-Nya sangat jarang sekali untuk dapat menempatkan diri menjadi bagian dari rahmatan lil'alamiin, dimana keberadaan kita seharusnya dapat pula menjadi rahmat bagi yang lainnya.
kita selalu berusaha untuk tampil sendiri, membusungkan dada, bahkan menyombongkan diri, melihat semua berdasar dari kacamata pribadi dan hanya untuk kepentingan pribadi semata. Kita terbuai dengan rasa individualis yang semakin menjadi dan seolah menyepak dengan kasar setiap kepentingan orang lain yang kita memandangnya tidak akan berpengaruh pada kepentingan diri ini. Na'udzubillah ...
Bila sehelai sajadahpun ternyata bisa menjadi satu jalan untuk membimbing diri kita dalam menunaikan satu kewajiban, untuk mengibarkan panji-panji untuk berbagi dalam indahnya kebersamaan, hingga akhirnya rahmatan lil'alamiin bukan hanya menjadi sebuah slogan semata, atau hanya menjadi satu rangkai kalimat yang selalu dan selalu kita hapal dalam nalar ini saja, namun pula kemudian dapat terealisasi dalam nyata.
Maka, semestinya mungkin hal lainpun juga akan bisa menjadikan diri ini untuk bisa lebih membuka hati, berupaya menjadi bagian dari rahmat-Nya, yang pula bisa menjadi rahmat bagi ummat lainnya. Karena, bukankah disatu waktu nanti, tak akan ada lagi yang pernah dan setia menemani kita, ketika tanah merah telah menutup rapat diri ini, terpisah dari kefanaan dunia. Hingga hanya ia, salah satunya yaitu hanya amalan yang menemani kita pada saatnya.
Wallahu'alam bish-shawab.
"Kok sajadahnya dilipat dua kek?", tanya seorang bocah berusia sekitar tiga tahunan kepada seorang kakek tua yang sebagian rambutnya sudah tidak lagi hitam, namun kini bersulam dalam dua warna.
Kakek tua itu hanya tersenyum dan menatap cucu lelakinya itu kemudian mempermainkan rambut pirangnya.
"Sudah, ayo ikuti kakek, kita sholat sunnat dulu!", ajaknya. Sesaat kemudian mereka berdua larut dalam penghambaannya, mempersembahkan kembali rukuk dan sujudnya pada Ia yang maha kuasa. Usai mereka salam, tak lama kemudian waktu berselang, iqomat berkumandang. Kami semua berdiri dan bersiap untuk melaksanakan sholat berjamaah. Shaf-shaf kini tertata rapi memanjang dari ujung kiri hingga ke kanan ruangan masjid itu. Kakek tua itu lalu membuka lipatan sajadahnya, untuk kemudian meletakkannya dengan arah memanjang, hingga kini terbagi menutupi dua bagian tempat sujud, baginya dan bagi seorang pemuda asing yang berada disampingnya. Bagian atas sajadah itu ia sengaja ia letakkan dibagian tempat sujud pemuda tadi. Sang cucu terheran melihatnya. Dan akupun tertegun saat itu. Namun segera kami mencoba menata kembali segala pikiran untuk berupaya dapat mempersembahkan shalat terbaik pada-Nya.
Setelah sholat, usai dzikir sejenak, kemudian kakek tua tadi berdiri dan beranjak hingga kemudian berlalu pergi bersama cucu lelakinya. Sekilas masih kudengar pembicaraan mereka ketika meninggalkan tempat sholatnya semula. Rupanya cucu lelakinya masih penasaran dengan tingkah kakeknya yang melipat dua sajadahnya ketika ia sholat sunnat, dan kemudian membukanya kembali lipatan sajadahnya menjadi dua bagian ketika berjamaah menjelang.
"Inilah artinya islam", sahutnya mengawali penerangannya pada sang cucu.
"Islam itu rahmatan lil'alamiin, yakni rahmat bagi sekalian alam. Wujudnya adalah dengan ber-Islam, maka salah satunya kita sebagai umatnya harus mampu menjadi rahmat pula bagi semua orang", lanjutnya panjang lebar.
Aku nggak tahu bagaimana rona wajah serta gerak pikir bocah lelaki tadi menangkap penjelasan dari kakeknya. Namun yang jelas aku begitu malu mendengar apa yang disampaikan kakek tua tadi pada cucunya.
Memang, mungkin entah sejak kapan kita mengenal bahkan sampai hapal diluar kepala akan sebuah ungkapan bahwa Islam itu rahmatan li'alamiin, yang dalam aplikasinya seharusnya memang akan selalu mampu menghadirkan cahaya kedamaian, cahaya rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi orang-orang yang tunduk dan patuh dalam ke-Islam-annya, namun pula bagi semua orang yang ada disekitarnya.
Namun, ternyata sepertinya begitu sulit hal itu terwujud dalam keseharian kita. Islam yang memang diturunkan oleh Alloh sebagai rahmatan lil'alamiin justru menjadi seakan sulit menjadi nyata. Kita selalu memaksa hari-hari yang kita lalui seakan kembali dan selalu berputar kembali pada satu arah yang sama, dan menempati posisi yang sama pula, kita sebagai ummat-Nya sangat jarang sekali untuk dapat menempatkan diri menjadi bagian dari rahmatan lil'alamiin, dimana keberadaan kita seharusnya dapat pula menjadi rahmat bagi yang lainnya.
kita selalu berusaha untuk tampil sendiri, membusungkan dada, bahkan menyombongkan diri, melihat semua berdasar dari kacamata pribadi dan hanya untuk kepentingan pribadi semata. Kita terbuai dengan rasa individualis yang semakin menjadi dan seolah menyepak dengan kasar setiap kepentingan orang lain yang kita memandangnya tidak akan berpengaruh pada kepentingan diri ini. Na'udzubillah ...
Bila sehelai sajadahpun ternyata bisa menjadi satu jalan untuk membimbing diri kita dalam menunaikan satu kewajiban, untuk mengibarkan panji-panji untuk berbagi dalam indahnya kebersamaan, hingga akhirnya rahmatan lil'alamiin bukan hanya menjadi sebuah slogan semata, atau hanya menjadi satu rangkai kalimat yang selalu dan selalu kita hapal dalam nalar ini saja, namun pula kemudian dapat terealisasi dalam nyata.
Maka, semestinya mungkin hal lainpun juga akan bisa menjadikan diri ini untuk bisa lebih membuka hati, berupaya menjadi bagian dari rahmat-Nya, yang pula bisa menjadi rahmat bagi ummat lainnya. Karena, bukankah disatu waktu nanti, tak akan ada lagi yang pernah dan setia menemani kita, ketika tanah merah telah menutup rapat diri ini, terpisah dari kefanaan dunia. Hingga hanya ia, salah satunya yaitu hanya amalan yang menemani kita pada saatnya.
Wallahu'alam bish-shawab.
masih blm paham, nih...
BalasHapusKenapa sajadahnya dilipat jd dua???
dilipatnya dg posisi spt apa?
BalasHapusapa hubungannya dg rahmatan lil 'aalamiin?
*binun n mikir*
maksudnya kita mau berbagi mbak,
BalasHapusseperti halnya kita juga mencoba agar keberadaan kita bisa menjadi bermanfaat bagi yang lain ...
kalau berbagi kan justru nggak dilipat.. tapi meletakkannya dg arah memanjang, bagian bawah untuk dirinya, dan atas utk orang lain (spt perlakuan thdp orang asing itu).
BalasHapushmm... musti dikejar nih sang kakek. ^_^
BalasHapussaya belum puas dengan penjelasannya...
Ayoo.. Ayoo.. Alamatnya mana? ^_^
wah,kalau njelasin yang begitu pada anak2 sekarang harus dengan bahasa yg sederhana dan mudah dimengerti, juga yang jelas las sampai tuntasss... anak saya yg kecil pernah nanya kenapa kita harus sholat, kenapa tidak semua orang sholat (teman dan gurunya di UK), malah pernah nanya juga, kenapa robot transformer nggak sholat...
BalasHapusSedang perkara meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjama'ah bukanlah perkara yang remeh
BalasHapusbetul, tepat sekali yang makna berbagi memang yang digambarkan dengan tingkah dia memanjangkan sajdahnya, sedangkan dengan melipat sajadahnya maka dia membuang kemubadziran dari yang sebagiannya.
BalasHapusDia mungkin berpendapat jika dia menggunakan keseluruhan bagian sajadah maka dia harus menginjak bagian bawahnya untuk alas kakinya, dan itu tentunya akan mengurangi kenikmatan ia waktu sujud nanti jika sajadah itu ia bentangkan dengan arah memanjang bagi dua orang. Karena yang dijadikan tempat sujud adalah bekas tempat kakinya ...
Begitu mbak ...
Wallahu'alam ... :)
betul, mungkin ini juga menjadi PR bagi kita semua untuk bagaimana semestinya memposisikan keberadaan sajadah dalam sholat berjamaah kita ...
BalasHapusSedang yang sunnah: shalat memakai sandal malah menjadi asing, sedang hal-hal bidah saat ini malah menjadi populer (seakan-akan sah)
BalasHapusDiriwayatkan, Shabrah bin Ma;bad berkata,
BalasHapus"Rasulullah bersabda,'jika salah seorang diantara kamu mengerjakan solat, hendaklah ia membuat tirai penghalang walaupun berupa anak panah'"(HR Ahmad dan hakim yang mengatakan bahwa hadits ini adalah shahih menurut syarat muslim. Adapun Haitsami mengatakan bahwa perawi-perawi hadits Ahmad ini tidak dapat diterima riwayatnya)
Mohon maaf: jadi spam komentar :)
10q :-)
BalasHapusÖöö.. jd maksudnya gitu, to.
BalasHapussyukron katsir atas penjelasannya ya, kek... ^_^
dulipet dua supaya masing masing dapat bagian yang pas sama besarnya.
BalasHapussajadah sekarang makin gede gede, jadi makin renggang barisan sholatnya
sayangnya, sekarang orang sepertinya berlomba-lomba membawa sajadah yg panjang dan besar bila ke masjid. utamanya yang AKHWAT. jadi shaf nampak lubang2 nggak rapat. :(
BalasHapusSetuju nih.. kadang gemes liat saudara2 kita menjadikan sajadah sebagai pembatas.. seakan2 berada di tengah sajadah lebih afdol sholatnya.. lagi nyari tulisan ttg hal ini.. mohon bantuannya ya mas..
BalasHapusMakasih juga tulisannya ini mas Dikdik.. sungguh manjadi renungan buat saya..
nice...
BalasHapussimple tapi dalem
tfs akhi :)
nice article.. menciptakan kedamaian dan kasih sayang dengan berbagi tsb ya. TFS ya
BalasHapusSubhanaLLOH...great writing...
BalasHapusKang Dik2 neh kalo nulis, bahasanya bagus...simple...menyentuh...trus...aku copas deh buat di milis2...
JazaakaLLOHU khoiron...
Yah sekarang ini banyak yg make sajadah yang lebar karena tdk mau berdiri secara rapat, padahal kita disuruh rapatkan barisan seperti penjelasan Mas Arrhwany diatas.
BalasHapusterima kasih tulisannya yang "truly inspiring"....
BalasHapusterima kasih banyak atas artikelnya. seperti siraman air sejuk di tengah kesibukan kerja. memang sebagai orang Islam kita kurang belajar tentang islam itu sendiri, hanya menjalankan apa yang diajarkan dari kecil dan itu pun cuma kulitnya. jarang yang mau menggunakan nikmat akal untuk mencari tahu islam itu seperti apa.
BalasHapusbahkan pembagian sajadah saja yang merupakan hal kecil bisa menggambarkan indahnya islam
kang didik..kok bisa tulisannya masuk ke eramuslim terus?
BalasHapusgimana caranya? dan tulisannya yang seperti apa yang bisa dimuat oleh eramuslim?
iya alhamdulillah mas yudi,
BalasHapuscaranya? ... dicoba aja terus, mungkin biasanya yang saya tahu eramuslim itu suka tulisan-tulisan yang sederhana ... :)
hmm klo gitu saya minta pendapat dari mas didik gimana klo yang ini.. http://yudimuslim.multiply.com/journal/item/209
BalasHapussoalnya rada itu rada bingung dengan kriteria tulisan itu sendiri
Selamat yaaa!! Masuk eramuslim. Sukses selalu!!
BalasHapusSubhanallah..
BalasHapusbagus banget..
Subhanallah..
BalasHapusbagus banget..
karena kesuksesan berawal dan bermula dari sesuatu yang sederhana, sesuatu yang kecil namun berarti maknanya. walaupun hanya tersirat oleh kasat mata.
BalasHapusayyuhal ikhwanats...yuk....fastabiqul khoirot !!..^^
BalasHapus