Dari Mereka, Yang Berbalik Kembali
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Di persimpangan itu. Deru kendaraan masih memenuhi ruang dengar semua orang yang berada di sekitarnya. Matahari tak hentinya menebar berjuta cahaya, meski kini hari tak lagi seterik biasanya. Sisa-sisa tarian lunglai pepohonan melengkapi penghujung hari di senja kala.
Langkah-langkah ini satu persatu masih setia mengurai cerita. Meski kadang terantuk kerikil kecil ataupun berlomba untuk dapat melihat jelas dibalik deru debu lalu lintas ibu kota. Sepoi angin senja yang kini tak lagi sesegar udara di pagi hari, telah menjelma laksana uap panas yang menyembur kaku dari balik tungku. Hanya tangan-tangan kecil ini yang mampu menyeka satu demi satu tetes butir keringat yang kini perlahan menetes dan menyelinap diantara pori dan kulit-kulit ini.
Saya masih berjalan. Berbekal secarik kartu bertuliskan sebuah nama dan alamat seorang yang beberapa saat yang lalu meminta untuk bisa bertemu. Mencari tahu keberadaan seseorang memang kadang ternyata membuat kita harus banyak mengernyitkan dahi, apalagi jika ternyata alamat yang ada kadang tak semudah untuk didapatinya. Seperti halnya saat itu, berkali-kali saya harus berbalik tanya pada beberapa orang tentang keberadaan tempat itu.
Perlahan semua berlalu, senja semakin menjadi, mataharipun kini mulai sembunyi dibalik punggung-punggung bebukitan. Hanya sinaran lembayung senja yang tersisa menyinari indahnya kota. Tidak lagi banyak orang-orang disekitar sana, hanya ada seorang lelaki tua hampir setengah baya dengan perawakan tinggi besar, kulitnya agak kehitaman dalam temaram senja. Sorot matanya sekilas tidak menampakkan rasa keakraban.
Jujur, saya segan untuk bertanya kepadanya saat itu. Namun, dalam kondisi seperti itu, dengan terpaksa akhirnya saya beranikan diri juga untuk mencoba mendekatinya.
"Assalamu'alaikum pak, maaf ganggu mau tanya ...", ucapku saat itu. Tak lupa dengan sedikit menyunggingkan senyuman, meskipun
saya sendiri tidak bisa menahan diri jika membayangkan wajah kekurang akrabannya sesaat tadi.
Namun subhanalloh, sesaat kemudian ia menoleh ke arah saya dan membalas senyum, sambil menjawab seluruh pertanyaan saya,
seraya menunjukkan tempat yang saya cari. Tak ada wajah bengisnya, tak ada kekurang akraban dari sikapnya, bahkan tak ada pula kesombongan daripadanya. Semua hilang bagaikan debu-debu yang kini menghilang tertiup semilir senja.
Sejenak saya tertegun dibuatnya, antara bayangan dan kenyataan kini terbukti bagaikan dua sisi yang berbeda, jauh sekali.
Dari sana saya kembali tersadar, ternyata jika kita mengharap yang terbaik dari sikap orang lain, maka adalah tentunya yang terbaik pula yang kita tampilkan untuk mereka.
Terkadang tak jarang kita menuntut selalu mendapat perhatian dari orang lain, mengharap pengertian daripadanya, tanpa kita sendiri berbuat yang sama pada mereka. Yang akhirnya, kecewa menjadi satu jawaban nyata ketika yang kita harap tidak sesuai dengan kenyataannya.
Saya jadi teringat dengan cerita dari seorang sahabat. Tentang sebuah gema disatu senja. Saat itu siapapun orangnya, ketika kita berada disatu ruang kosong yang tak banyak berisi, ketika kita meneriakan segala macam perkataan, maka itulah juga balasan dari gema itu. Ketika kita meneriakan berjuta caci maki maka balasannya adalah caci maki juga. Sama halnya begitupun pula ketika kita meneriakan pujian, maka pujian pula lah yang akan kita dapatkan sesaat kemudian dari gema tersebut.
Membalas tak sedikitpun berbeda daripadanya.
Kiranya, andaikan kita semua dapat memahami tentang semua ini, maka mungkin tak akan lagi ada banyak terdapat segala tindak, ucap dan perilaku kita yang mungkin dapat menyakiti perasaan orang lain. Yang ada hanyalah berusaha untuk senantiasa mampu memberikan yang terbaik bagi orang lain, agar kitapun mendapatkan balasan yang serupa darinya.
Namun, andaikan memang pada saatnya kita terpaksa harus mendapatkan balasan yang justru kurang baik daripadanya. Maka yakinlah, kuasa Alloh senantiasa menjadi Dzat yang maha melihat setiap hal yang ada dalam niatan diri kita.
Wallahu'alam bish-shawab.
Di persimpangan itu. Deru kendaraan masih memenuhi ruang dengar semua orang yang berada di sekitarnya. Matahari tak hentinya menebar berjuta cahaya, meski kini hari tak lagi seterik biasanya. Sisa-sisa tarian lunglai pepohonan melengkapi penghujung hari di senja kala.
Langkah-langkah ini satu persatu masih setia mengurai cerita. Meski kadang terantuk kerikil kecil ataupun berlomba untuk dapat melihat jelas dibalik deru debu lalu lintas ibu kota. Sepoi angin senja yang kini tak lagi sesegar udara di pagi hari, telah menjelma laksana uap panas yang menyembur kaku dari balik tungku. Hanya tangan-tangan kecil ini yang mampu menyeka satu demi satu tetes butir keringat yang kini perlahan menetes dan menyelinap diantara pori dan kulit-kulit ini.
Saya masih berjalan. Berbekal secarik kartu bertuliskan sebuah nama dan alamat seorang yang beberapa saat yang lalu meminta untuk bisa bertemu. Mencari tahu keberadaan seseorang memang kadang ternyata membuat kita harus banyak mengernyitkan dahi, apalagi jika ternyata alamat yang ada kadang tak semudah untuk didapatinya. Seperti halnya saat itu, berkali-kali saya harus berbalik tanya pada beberapa orang tentang keberadaan tempat itu.
Perlahan semua berlalu, senja semakin menjadi, mataharipun kini mulai sembunyi dibalik punggung-punggung bebukitan. Hanya sinaran lembayung senja yang tersisa menyinari indahnya kota. Tidak lagi banyak orang-orang disekitar sana, hanya ada seorang lelaki tua hampir setengah baya dengan perawakan tinggi besar, kulitnya agak kehitaman dalam temaram senja. Sorot matanya sekilas tidak menampakkan rasa keakraban.
Jujur, saya segan untuk bertanya kepadanya saat itu. Namun, dalam kondisi seperti itu, dengan terpaksa akhirnya saya beranikan diri juga untuk mencoba mendekatinya.
"Assalamu'alaikum pak, maaf ganggu mau tanya ...", ucapku saat itu. Tak lupa dengan sedikit menyunggingkan senyuman, meskipun
saya sendiri tidak bisa menahan diri jika membayangkan wajah kekurang akrabannya sesaat tadi.
Namun subhanalloh, sesaat kemudian ia menoleh ke arah saya dan membalas senyum, sambil menjawab seluruh pertanyaan saya,
seraya menunjukkan tempat yang saya cari. Tak ada wajah bengisnya, tak ada kekurang akraban dari sikapnya, bahkan tak ada pula kesombongan daripadanya. Semua hilang bagaikan debu-debu yang kini menghilang tertiup semilir senja.
Sejenak saya tertegun dibuatnya, antara bayangan dan kenyataan kini terbukti bagaikan dua sisi yang berbeda, jauh sekali.
Dari sana saya kembali tersadar, ternyata jika kita mengharap yang terbaik dari sikap orang lain, maka adalah tentunya yang terbaik pula yang kita tampilkan untuk mereka.
Terkadang tak jarang kita menuntut selalu mendapat perhatian dari orang lain, mengharap pengertian daripadanya, tanpa kita sendiri berbuat yang sama pada mereka. Yang akhirnya, kecewa menjadi satu jawaban nyata ketika yang kita harap tidak sesuai dengan kenyataannya.
Saya jadi teringat dengan cerita dari seorang sahabat. Tentang sebuah gema disatu senja. Saat itu siapapun orangnya, ketika kita berada disatu ruang kosong yang tak banyak berisi, ketika kita meneriakan segala macam perkataan, maka itulah juga balasan dari gema itu. Ketika kita meneriakan berjuta caci maki maka balasannya adalah caci maki juga. Sama halnya begitupun pula ketika kita meneriakan pujian, maka pujian pula lah yang akan kita dapatkan sesaat kemudian dari gema tersebut.
Membalas tak sedikitpun berbeda daripadanya.
Kiranya, andaikan kita semua dapat memahami tentang semua ini, maka mungkin tak akan lagi ada banyak terdapat segala tindak, ucap dan perilaku kita yang mungkin dapat menyakiti perasaan orang lain. Yang ada hanyalah berusaha untuk senantiasa mampu memberikan yang terbaik bagi orang lain, agar kitapun mendapatkan balasan yang serupa darinya.
Namun, andaikan memang pada saatnya kita terpaksa harus mendapatkan balasan yang justru kurang baik daripadanya. Maka yakinlah, kuasa Alloh senantiasa menjadi Dzat yang maha melihat setiap hal yang ada dalam niatan diri kita.
Wallahu'alam bish-shawab.
pertamaaaaaaaaaaaaaaa
BalasHapus^_^ yup.. dan kita.. tidak bisa menilai seseorang hanya dari penampilan fisiknya saja... ^_^
BalasHapusAkh Didik kelihatannya lembut.. kenyataannya??? Emang lembut, ding.. :-) SUBHAANALLAAH...
luar biasa bahasanya....
BalasHapus*wah ga jadi yang pertama deh* :))
Sepoi angin senja yang kini tak lagi sesegar udara di pagi hari, telah menjelma laksana uap panas yang menyembur kaku dari balik tungku.
BalasHapus===========================================================================
keren bahasannya..
kebanyakan baca novel ya kang?
hm, setuju! saya juga punya pengalaman yg serupa, cuma bedanya, tokoh bapak itu lah saya.hehe..orang mengira dari wajah,saya ini orangnya galak, padahal ramah, baik hati, tidak sombong, rajin menolong...kadang banyak dari kita memang terbiasa menilai dari penampakan luar..menuntut orang lain lebih mudah ketimbang menuntut diri sendiri walaupun sebuah kebajikan.
BalasHapusjangan ngiri ya mbak..:D
BalasHapusAda kalanya kita menilai berdasarkan pengalaman, naluri, atau bahkan suasana hati. Tinggal bagaimana memilahnya saja agar tidak keburu berprasangka.
BalasHapusKalau kita dah berbuat baik pada orang , tapi tanggapan dr dirinya kurang baik, wajar kan kalau kita kecewa ?
BalasHapusberbuat baik=bersikap baik+berperasangka baik...:)
BalasHapusGak usah kecewa mbak,
BalasHapusinsyaAlloh meskipun tidak dibalas dengan kebaikan lagi, kalo kita niatkan berbuat baik itu karena Alloh, Alloh akan mencatatnya sebagai amal baik untuk kita, bukan ... :)
berbuat baik tidak perlu mengharapkan balasan karena takutnya akan krng ikhlas..:)
BalasHapusmakasih sharenya pak..:) berbuat baik dengan ikhlas menurut pengalaman membuat kita lebih tenang..
BalasHapusPerlakuan orang sering membuat kita malu terhadap diri kita...
BalasHapusSoal e..kebanyakan prasangka tak baik rupanya diri kita nich...
TFS ya dek...
You get what u give in return.....^_^
BalasHapusalways possitive thinking :-)
BalasHapus--------------------
tfs
Syukron sudah kembali mengingatkan. Pesan yg dalam dikemas dengan kata-kata yg indah, terasa menyejukkan.
BalasHapusNuhun nya Dik ^_^ kmh atos nyambung sareng Hoerani teh?
Sae pisan basana......Dina basa Inggris mah......"Basa mah teu meuli".......
BalasHapusKeliatan banget tulisan orang yang rajin baca :) Makasih udah nulis sesuatu yang pantas direnungkan. Jazakallah khairan katsiran.
BalasHapusdont judge a book by its cover...:)
BalasHapusHIDUP ISLAM(mumpung jaman kampanye nih!!!!) MERDEKA (nderek mangayubagya Kemerdekaan Indonesia!!!!!!!)
BalasHapus