Film Ketika Cinta Bertasbih (1)

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama

Menarik! Jika kita melihat satu karya visual ini serta disandingkan dengan beberapa komentar dari mereka yang sudah menontonnya. Ada banyak sanjungan serta pujian, namun pula tak sedikit lagi-lagi kritikan bersandar pada dinding-dinding kesuksesan film tersebut.

Sebuah film yang diambil dari sebuah novel karya Habiburrahman El Shirazy, yang berhasil menyandang predikat sebagai novel “Mega Best Seller” ini, memang telah lama dinantikan oleh jutaan calon penontonnya dari jauh-jauh hari. Hal ini terbukti dengan banyaknya perhatian masyarakat pada proses pembuatan film ini mulai dari proses casting, survey lokasi, shooting, editing sampai kini ketika film tersebut berhasil bertengger di layar-layar bioskop. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga sekaligus di 7 negara lainnya.

Banyaknya harapan akan film ini akhirnya dipertaruhkan pada tangan apik sang sutradara senior Chaerul Umam. Bersama dengan berbagai kalangan senior perfilm-an Indonesia, Sinemart sebagai Production House yang menggarap film ini akhirnya kini berhasil mempersembahkannya pada khalayak.

Film ini secara keseluruhan tak ada sedikitpun yang melenceng dari alur cerita yang ada di novel-nya. Bahkan jika kita telah membaca novel itu sebelumnya, kita tidak akan pernah sulit untuk menebak apa yang akan terjadi pada scene berikutnya dari film ini ketika menyaksikan sebuah karya visual ini.

Namun sayangnya memang sebuah konsekuensi harus diterima oleh masyarakat, dengan padatnya alur cerita yang ada, sehingga menjadikan film ini cukup membuat sebagian dari para penontonnya sempat kecewa ketika dengan terpaksa film ini harus dibagi menjadi dua bagian, seperti halnya cerita yang ada pula pada novelnya.

Hal ini menjadikan sebagian orang berpendapat film Ketika Cinta Bertasbih pada bagian pertama ini tak terdapat klimaks didalamnya. Semua bagai aliran air yang mengalir saja.

Pada lain hal, jika kita lihat dari sisi syariah-nya, film-film ini betul-betul sangat amat menjaganya. Beberapa adegan yang dikhawatirkan dapat merusak pesan yang ada pada film inipun, ketika misalnya adegan dua orang yang jelas-jelas bukan muhrim untuk berada pada scene yang sama, seperti ketika Azzam pertama kali bertemu kembali dengan adiknya Husna, jika menurut novel mereka berpelukkan, namun disini tidak ditampilkan demikian, bahkan bersentuhan tanganpun tidak. Subhanalloh, ini sebuah nilai tambah yang tak terkira. dan terbukti hal itu ternyata tidak sedikitpun mengurangi nilai estetika dari film ini sama sekali.

Kemudian, tampilan mesir sebagai setting tempat yang dijadikan faktor unggulan di film inipun digeber habis-habisan oleh sang sutradara. Tidak heran jika kita melihatnya film ini, kita seakan berada disana mengikuti jejak-jejak para tokoh yang ada didalamnya. Dari mulai Cairo, Nile City, Alexandria, dsb semua ditampilkan secara maksimal.

Namun memang, ada beberapa scene yang disayangkan sepertinya kurang maksimal dalam penggarapan film ini. Seperti halnya ketika adegan pertemuan Azzam dan Furqon sebagai sepasang sahabat lama yang bertemu kembali dengan lattar langit Alexandria, langit itu beserta cropping dari tubuh kedua tokoh sepertinya agak kasar, dan “outer glow”-nya nya-pun masih sangat kelihatan.

Selebihnya, film ini cukup layak untuk dijadikan film yang direkomendasikan layak ditonton. Bahkan tak perlu takut jika kita membawa anak-anak kecil sekalipun, karena boleh dibilang tak ada satupun scene yang berbahaya bagi mereka.

Semoga awal niat yang baik dari penggarapan film ini bisa juga mengantarkannya kepada hasil yang terbaik pula. Maju terus perfilm-an Indonesia.

InsyaAlloh …

30 komentar:

  1. wow Keren

    kata tiulah yg meluncur dari mulutku saat setelah menonton KCB tapi saya lebih suka membaca novelnya karena sy bisa mengkhayal dan menjadi pemeran furqon
    hahahahahahahaha

    BalasHapus
  2. setiap orang berhak menyatakan pandangannya :)

    BalasHapus
  3. alhamdulillah, semoga yang keduapun tidak mengecewakan, bahkan lebih baik lagi :)

    BalasHapus
  4. salut untuk bintang lima-nya bro,
    tak usah jadi furqon di film, jadi diri kita sendiri di kehidupan kita sendiri (apalagi ditambah dengan memiliki segudang prestasi seperti furqon) saya kira lebih hebat :D

    BalasHapus
  5. reviewnya yang bagus..

    filmnya?? no comment :)

    BalasHapus
  6. wah kalo gitu nunggu yg ke-2 muncul aja deh, biar lengkap... gak nggantung..

    BalasHapus
  7. tadinya saya bahkan berharap, 2 studio di setiap bioskop, studio 1 untuk KCB1, studio 2 untuk KCB 2 :D

    BalasHapus
  8. saya denger, shooting adegan ini bukan di Mesir, karena waktu di Mesir, scene ini terlupa dan tidak terambil, jadilah dicari lokasi lain yang mirip Alexandria ... :)

    BalasHapus
  9. sepertinya memang begitu, terasa dari dialognya-pun agak sedikit kurang pas pada saat disatukannya.

    BalasHapus
  10. Agak beda persepsi antara saya dengan Mas Didik. Saya melihat film ini sebagai sesuatu yang agak aneh dan seperti mensinetronkan novel ke dalam wujud film, pake bersambung pula.

    Ada yang janggal dengan keinginan Kang Abik mensupervisi langsung pembuatan KCB agar tidak terulang kesalahan yang dilakukan Hanung di AAC. Kang Abik meminta novel KCB diterjemahkan harfiah dalam film. Ini sah-sah aja, Kang Abik punya kepentingan agar novel yang divisualisasikan itu sama persis dengan filmnya.

    Ehmmm... nggak ada maksud mengkritik apalagi mencela, Kang Abik lupa kalau beliau bukan orang film, bahwa film itu beda dengan novel. Durasi dalam film nggak bisa disamakan dengan uraian kata tiap bab di novel.

    Saya melihatnya, apabila saja dipisah cerita Fadil yang sebenarnya mencintai Tiara, apalagi Tiara yang begitu mencintai Fadil, namun karena ketidakberanian Fadil, berakibat Ustadz Zulkifli yang mendapatkan cinta Tiara. Kisah di pernikahan dengan adat Aceh dan tari Saman itu kalo aja dijadikan ending, pastilah menarik.

    Durasi yang kepanjangan, ada baiknya dikonsentrasikan ke cerita Fadil dengan Tiara dan Cut Mala adil Fadil sebagai bumbu, bukan di Khairul Azzam, Anna Alfathunnisa, apalagi kisah Furqan Andi Hasan yan terkena AIDS. Penggalan cerita itu baiknya dijadikan bridging untuk dilanjutkan di kisah KCB 2 yang memang dikonsentrasikan ke kisah-kisah mereka.

    Film beda dengan novel, ini jelas. Namun memenggal kisah ketika konflik mulai terbangun, ketika penonton menunggu penyelesaian malah diambangkan bukan hal yang elegan adanya. Adapun pemenggalan kisah yang diambangkan juga ada konsepsi dan triknya tersendiri, bukan dengan cara begini.

    Itu sih kepenasaranku sama KCB 1 ini. Hal yang cukup mengganggu karena pemenggalan kisah yang nggak asik, bak sinetron yang difilmkan.

    Tapi tetep, ini pendapat subjektifku sebagai penonton dan sangat berbeda-beda satu sama lain. Ini hal yang biasa, khilafiyah orang-orang yang menonton KCB 1.

    Setidaknya, film ini sebagai unsur budaya pop dalam kacamata industri film memang hal yang menarik, apalagi di tengah serbuan film-film horor kacangan dan nggak mendidik. Jangan lupa, film-film horor kacangan itu punya segmen pasarnya tersendiri. Asal tau aja, bikin film horor, dilempar ke pasaran, minimal ada 500 ribu penonton yang siap melahapnya. Dengan KCB atau film-film bergenre lain yang beda, ini sama aja bertaruh dengan selera pasar...

    Pasar, hal yang sulit dimengerti penonton film kayak kita. Nggak bisa dilupain juga, film itu industri, di mana industri butuh laku, butuh penonton yang bisa mengalirkan kocek ke orang-orang yang mengelolanya...

    Tetep kok, khilafiyah yang menarik dengan perbedaan pendapat antara saya dan Mas Didik...

    BalasHapus
  11. Setuju mas untuk yang ini, sayapun pernah menuliskannya di resensi novel KCB yang kedua, bahwa sayapun merasa kalau KCB 1 itu memang terasa kang Abik sebagai penulis, saya (sebagai orang awam) melihatnya seperti kebingungan untuk mengangkat tokoh mana yang akan dijadikan tokoh inti dari novel ini.

    Sehingga jadinya banyak cerita yang menggantung, dan sayangnya ketika film novel itu divisualisasikan menjadi sebuah film, menggantungnya cerita2 tersebut makin terasa sekali.

    Makasih banyak mas untuk pendapatnya ... :)

    BalasHapus
  12. walo blm nonton aq kasih bintan 5 deh....kayak nya top bgt nih....

    BalasHapus
  13. Ehmmm... bukan sok tau sih Mas, mohon maaf juga sebelumnya. Pak Chaerul harusnya juga berani menyikapi bahwa film yang diangkat untuk episode awal ini harus yang punya ending sendiri di tengah banyaknya tokoh. Jangan mau juga disetir sang penulis novel, itu bahasa kasarnya.

    Bahasa halusnya, harusnya berdua, Kang Abik dan Pak Chaerul itu dialog dan sepakat menentukan topik dan tema yang akan diangkat, toh kelewat banyak tokoh menarik di sini yang bisa dijadikan tema utama di KCB 1 ini.

    Saya melihatnya, tokoh Fadil dengan Tiara dan Cut Mala adiknya itu menarik banget kalo dijadiin tema utama, tokoh-tokoh macam Azzam, Anna, Eliana juga Furqon cukuplah pelengkap penderita, dikenalkan tapi nggak dimasukkan inti cerita, biarkan cerita mengalir macam:

    Azzam itu mahasiswa penjual tempe yang sudah 9 tahun kuliah tapi belum lulus-lulus. Jadi harapan di desanya karena selain kuliah, ia juga jadi penopang hidup keluarga.

    Eliana itu anak dubes yang pintar sekaligus manja, agak-agak otoriter dan agak-agak haus popularitas.

    Anna itu gadis cantik putri dari Kyai Lutfi. Selain cantik juga pintar.

    Furqon anak orang kaya dari Jakarta yang juga menuntut ilmu di Kairo dengan segala perbedaannya pada mahasiswa lain. Wajar, Furqon anak orang kaya.

    Sudah, itu aja yang dikenalin, selanjutnya topik yang dikuatkan justru Fadil dan Tiara, bumbu ada pada adiknya Cut Mala. Meski dalam novel itu cuma sekelebatan, tapi ini kekuatannya di film. Toh kita bicara film, bukan novel, meski ini bentuk dari novel yang difilmkan.

    Mengenai adegan Azzam sama Furqon yang ngobrol dengan latar belakang langit-langit dan keliatan jelas tempelannya, maaf, saya harus bilang orang kreatifnya itu malas.

    Saya cukup ngerti mengenai teknik green screen atau blue screen ini. Secara teknis, tokoh di shooting dengan latar belakang green atau blue, kemudian latar belakang itu ditursir dan dibikin alpha channel 0, lantas diisi dengan latar belakang yang lebih baik dan lebih bagus. Kelalaian menursir background dengan rapi sampe akhirnya cacat yang parah jadi bikin buruk scene ini.

    Bikin film bagus memang butuh pengorbanan. Ya capek, ya ribet dan repot. Asal tau aja, untuk satu detik itungan PAL itu ada 25 gambar, kalo NTSC itu sekitar 30-an gambar. Kira-kira kalo ada sekitar 5 menitan, tarohlah make PAL, ada sekitar 25 gambar X 60 detik X 5 menit = total ada 7500 frame yang kudu ditursir.

    Ada kesan di orang grafisnya itu cuma sekedar autoselect background sampe lupa ngalusin sisa-sisa yang nempel di rambut. Ini sama persis kayak di photoshop meski nggak sesederhana itu. Tapi paling nggak, dengan cara begini malah bikin rusak scene ini...

    Sungguh sayang sih, sayang banget. Padahal kalo aja nggak buru-buru, bisa diskusi antara pembuat film dengan si pembuat novel, lantas kru film bisa saling bekerja sama, wah, dijamin ini film yang sangat oke. Toh shooting-nya juga langsung untuk 2 episode kok, cuma pas nentuin mana yang bakal dijadiin episode pertama dan kedua aja yang rasa-rasanya banyak bikin pro-kontra...

    BalasHapus
  14. Nah ulasan yang ini mas, yang saya suka, makasih banyak penjelasannya.
    Jujur, emang bener, bagian ini yang sangat amat disayangkan memang, padahal proses produksi+editing-nya pun saya kirapun gak terburu-buru :)

    BalasHapus
  15. *manggut2 baca review* Makasiy adinda :-)

    Jujur, belum tertarik utk menonton, di saat semua orang sedang heboh, hehehe...
    Tapi Star Trek udah nonton, bareng Hadi, hihihi, syeneng :-D

    BalasHapus
  16. bagus..bagus..
    kayaknya reviewnya berbobot sekali..
    lebih dari sekedar ngomentarin film..
    review ini seolah ingin film KCB nya jadi se ideal yang diharapkan..
    bukti kalo kita ingin nge-save film karya kita sendiri ini..
    Extra Ordinary!
    n_n

    BalasHapus
  17. setuju untuk bagian durasi, memang terasa kepanjangan, dan terasa seperti kurang ada klimaks yang jelas. Mungkin karena klimaksnya berkali2 ya. Saya juga setuju untuk komentar masalah tampilan grafis, di beberapa bagian terasa kurang halus..
    Saya juga bikin sedikit review di sini (http://unisa99.multiply.com/journal/item/22/22), tapi kurang mengangkat ttg kekurangan2nya.. semoga berkenan..

    BalasHapus
  18. wallahu'alam, ini saya coba tulis hanya menurut saya :)

    BalasHapus
  19. Belum pernah baca novelnya.., dah keluar dvd/vcd originalnya belum... hee...

    BalasHapus
  20. Semoga awal niat yang baik dari penggarapan film ini bisa juga mengantarkannya kepada hasil yang terbaik pula"
    amiin...

    BalasHapus
  21. apa yg tertulis dsini smuanya kritik yg konstruktif, asal jngan menjelek-jelekkan aj, toh masih bnyak yg bagusnya kan dari pada yg jeleknya. dforum laen bnyak jg yg menjelek-jelekkan bahkan ledek-ledekan sesama pengomentarnya. maju trus film KCB. yg laen kt tunggu deeeh.

    BalasHapus
  22. yng jelas lebih bagus daripada ayat2 cintrong...
    dari segi karakter krn aac kayaknya sempurna banget pelaku utamanya (tokoh fahri) seperti pintar, tajir, tampan, dari keluarga bangsawan&terpelajar apakah ada yang seempurna seperti itu tdk seperti tokoh azzam yg realistis terpelajar but tidak tajir dan tdk terlalu tampan.. jadi tidk mimpi gituw..
    dari segi cerita, gak kaya aac yang tokoh utama dikejar2 banyak wanita apalagi mesti menikahi maria yang udah out of section... tokoh azzam mencari jodoh... itu adalah hal realistis bagi laki2... scr aktif mencari bukan dikejar-kejar...
    dari segi ending... klo udah nonton KCB2 baru ada klimaks yang baek krn azzam dpt impiannya setelah berusaha cari jodoh..yang dlam usahanya itu dia beberapa kali belum berjodoh... azzam tidk bodoh tapi emang belum ketemu jodoh sampai akhirnya dpet jodoh di akhrir certa demikian.. baiknya nonton aja deih film nya.. met nonton kbc 2 dan reviewnya sekalian.. he3..

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.