Di Sinipun Masih Ada Jalan Kesana ...

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Udara dingin dini hari itu semakin menghimpit diantara dua cerita. Penat mata yang terpaksa harus segera kembali terbuka dari lelap beberapa saat sebelumnya telah mengantarkan diri kini berada disana. Di Jalanan nan lengang tanpa kepenatan di satu titik persimpangan tempat kami biasanya menunggu bis antar kota antar propinsi.

Hanya ada beberapa kendaraan yang mengangkut para pedagang menuju pasar yang melintasinya.

Aku masih berdiri, mematung dan kaku menunggu sebuah bis yang akan membawa diri menuju ibu kota.

03.17, sebuah bis menyorotkan lampunya di kejauhan sana. Sesaat kemudian aku telah berada didalamnya. Entahlah, jujur sebetulnya aku cukup terheran dibuatnya. Dalam waktu sepagi buta inipun ternyata bis itu masih harus penuh sesak oleh para penumpangnya.

Perjalanan menuju ibukota di dini hari setiap awal pekan memang katanya seperti itu. Terlalu banyak orang yang memundurkan waktu perjalanan keberangkatannya untuk kembali ke ibukota hingga di keberangkatan pertama bis tersebut di hari senin, bukan di hari minggu sorenya. Tentunya mereka memiliki alasan masing-masing, seperti halnya juga diriku.

Ketika tangan ini meraih ujung pegangan di atas kepala, aku baru tersadar ternyata tepat disebelahku adalah seorang ibu muda. Usianya mungkin tidak lebih dari 35 tahun tebakanku. Aku masih sempat mengangguk ke arahnya.

Perbincangan diantara kami para penumpang-pun mulai tercipta ketika udara yang dingin bertambah semakin dingin ketika bis melaju melewati jalur Nagrek.

Ada hal yang aku salutkan dari mereka. Mereka yang kini berada disana adalah mereka juga yang rela "mendermakan" dirinya untuk berjuang bagi keluarga-keluarganya. Tentunya jika tidak demikian, buat apa mereka bersusah payah berangkat di dini hari buta seperti ini. Satu harapan mereka agar bisa tetap berjuang mencari nafkah di tempat kerja mereka masing-masing di ibukota nantinya, tepat waktu seperti biasanya.

Setelah beberapa waktu berselang aku tersenyum dibuatnya, ternyata tebakanku tidak jauh meleset. Ibu muda yang mengenakan jilbab berwarna hitam, berjaket tebal itupun menjadi bagian dari orang-orang yang kemudian aku kagumi. Aku baru tahu ternyata beliau melakukan pulang pergi Garut - Jakarta hampir tiap pekan. Biasanya beliau pulang ke Garut jumat sore dan kembali ke Jakarta senin dini harinya.

Ketika aku coba tanyakan "Mengapa?", ia hanya tersenyum, sebelum akhirnya berkata, "anak saya dua saya tinggal di Garut".

Subhanalloh, sedemikian relanya beliau melakukan perjalanan jauh dua kali tiap pekan karena kecintaannya pada anak-anaknya tersebut. Tentunya itu memang menjadi sebuah pilihan sulit bagi mereka-mereka seperti ibu itu. Ketika suaminya harus bertugas jauh di pelosok Papua sana, iapun harus ambil bagian untuk menjadi salah satu penopang ekonomi keluarga sebagai seorang tenaga kesehatan di timur Jakarta. Dengan konsekuensi beliau harus meninggalkan anak-anaknya, setidaknya untuk sementara waktu. Ia memilih dini haripun untuk berangkat karena menunggu waktu agar anak-anaknya ia yakini sudah tertidur pulas ketika ia pergi.

Diantara jarak kedua tempat duduk disamping kiri dan kanan bis kami berusaha untuk bisa menyandarkan tubuh ke ujung jok yang ada, namun dalam kondisi penuh sesak seperti itu sepertinya untuk bersandarpun terlalu sulit. Akhirnya ketika sesaat aku menangkap rasa kantuk telah bergelayut di kedua kelopak mata ibu itu, aku mendongakkan tubuhku yang kemudian juga dilakukan hal yang sama oleh seorang bapak disamping ibu tersebut, untuk memberikan sedikit ruang yang ada pada beliau agak bisa duduk bersila di lantai bis.

Aku menghela nafas, terlalu indah Alloh memberikan jalan berbuat kebaikan bagi hamba-hamba-Nya. Ini memang sebuah hal yang terlalu amat sederhana, namun dalam kondisi seperti itu justru serasa luar biasa. Ketika sebuah ucapan terimakasih dari mereka terucap, ketika sebuah senyum terpancar, itu sebetulnya yang semestinya menjadi puncak kebahagiaan bagi diri kita. Ah, sekali lagi aku harus menegaskan pada diri ini ternyata terlalu indah Alloh memberikan jalan berbuat kebaikan bagi hamba-hamba-Nya.

Aku masih teringat ketika hampir saja menangis pada saat berada di sebuah majelis pengajian di ibu kota. Saat itu uang yang tersisa hanya cukup untuk ongkos pulang ke tempat kost, jika uang itu aku infak-kan, maka konsekuensinya malam itu aku harus mengarungi belasan kilometer berjalan, bertarung dengan dinginnya malam itu. Berat hati ini untuk tidak mengulurkan tangan ke atas sorban yang dibentangkan diujung sana, namun apalah daya ...

Aku berpikir saat itu bahwa berbuat baik, beramal sholeh, atau apapun itu namanya, hanya berlaku bagi mereka yang memiliki harta berlebih. Mereka para orang kaya yang dapat dengan leluasa bersedekah kapan saja, mereka bisa berinfak berapa saja, bahkan untuk sekedar ikut serta dalam program sosial tak ada sedikitpun halangan bagi mereka. Setidaknya itu yang aku pikirkan saat itu ...

Namun ternyata, hari ini Alloh menunjukkan salah satu jawabnya kepada kami. Berbuat baik tidak hanya sebatas dipandang pada nilai nominal rupiah yang ada, namun apapun itu yang disertai dengan niat keikhlasan, insyaAlloh akan membawa nilai barokah disisi Alloh. menjadikan tabungan kebaikan untuk kita jemput kelak di akhirat sana.

Alhamdulillah yaa Rabb,
Semoaga engkau senantiasa memberikan kemampuan kepada kami untuk senantiasa belajar dari hikmah yang ada, sehingga kedekatan kami bersama-Mu bukan lagi hanya sekedar mimpi yang ada.

Aamiin yaa Robbal'alamiin ...

4 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.