Idul Adha, Antara Keteladanan Umar dan Kemiskinan Ummat di Masa Kini

Kericuhan Pembagian Daging Qurban - Istiqlal
Hari ini kita baru memasuki hari kedua dalam bilangan tasyrik. Itu berarti kita baru 2 hari juga melangkah dari sebuah hari raya besar bagi ummat Islam, Idul Adha. Ada sebuah ironi memang ketika kita menyebutkan Idul Adha sebagai hari raya sekaligus hari besar bagi ummat ini. Karena ternyata memang disadari atau tidak, nama besar Idul Fitri lebih populer sebagai hari rayanya ummat Islam di Indonesia.

Saya teringat sebuah khutbah di hari Jumat pekan lalu, ketika sang khatib kembali mengingatkan kami untuk menyambut hari raya nan besar Idul Adha dengan kebahagiaan yang tak boleh berbeda dengan hari besar Islam lainnya. Ini karena dalam Idul Adha ada beberapa keistimewaan yang justru tidak ada di hari raya Idul Fitri sekalipun.

Adalah adanya perayaan ibadah haji, dimana jutaan orang, jutaan muslimin sedunia berkumpul bersatu padu mengumandangkan talbiyah di tanah Mekkah sana. Tidak ada satu agama apapun yang memiliki satu moment seperti ini, hanya disini, hanya di perayaan Idul Adha.

Namun ada sebuah kepiluan ketika sebuah rangkaian dalam perayaan hari besar ini berlangsung di negeri kita. Ibadah Qurban sebagai satu bentuk perwujudan rasa kepedulian kita terhadap saudara-saudara kita dengan menyembelih hewan qurban dan membagikannya kepada mereka, ternyata masih saja harus membuat kita menarik nafas panjang.

Kembali media menyuarakan sebuah kabar bahwa kembali terjadinya kericuhan pada saat pembagian daging hewan qurban, yang kali ini ternyata justru terjadi di masjid terbesar di negeri ini. Masjid Istiqlal. Tak jauh dari tempat dimana para pimpinan negeri ini menjalankan roda pemerintahan.

Saya teringat dengan kisah Umar Bin Khattab, seorang khalifah (pemimpin) yang lahir dari kebengisan, namun ternyata berhati lembut dan sangat penyayang terhadap rakyatnya. Dalam malam ia tak jarang melakukan perjalanan menemui rakyatnya hanya untuk sekedar berbagi rezeki atau mendengarkan keluh kesah rakyatnya.

Ini yang mungkin semestinya bisa kita tiru. Jiwa sosial sang khalifah dengan mendatangi rakyatnya tidak salah jika kita jadikan acuan. Jika kita berniat berbagi dengan rakyat kecil, berbagilah dengan langsung menemui rakyat kecil, jangan pernah mencoba untuk mengundang mereka untuk berkumpul dalam terik dengan undangan secarik kupon. Namun seandainya jika kita tidak memungkinkan untuk menemui mereka satu persatu, ada baiknya mencoba untuk lebih berkoordinasi dengan pemerintahan setempat, membagikan apa yang akan kita beri cukup dikoordinir oleh perwakilan mereka saja mungkin bisa lebih meminimalisir kejadian seperti ini.

Wallohu'alam bish-shawab

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.