Penasaran Dengan Film 99 Cahaya di Langit Eropa?, Ini dia Resensinya...
Resensi Film, novel 99 Cahaya di Langit Eropa |
Hari ini memang tepat hari pertama kami melangkah di permulaan tahun ke lima dalam perjalanan rumah tangga ini. Dan akhirnya kami memutuskan untuk mengisi perjalanan di hari ini dengan mengajak puteri kecil kami untuk bermain di luar rumah. Tak ada lagi pilihan, hidup di sebuah kota yang memang sepertinya semakin hari semakin saja dipenuhi oleh berbagai pusat perbelanjaan, kembali mengharuskan kami untuk pula kembali berada disana.
Hingga akhirnya setelah menyempatkan diri bermain di sebuah playground serta menikmati santap siang di sebuah resto siap saji, kaki kami terhenti tepat di depan sebuah poster besar di salah satu sudut pintu bioskop di mal tersebut.
Sejenak kami berdiri dan mematung memandangi poster tersebut. "Ini katanya bukunya bagus loh mi", ucapku membuka percakapan pada istriku. "O ya? emang ceritanya tentang apa bi?", jawab istriku. Dan aku hanya tersenyum menangkap ada rasa keingintahuan dari istriku itu.
"Yuk kita sholat dulu", ajakku sambil menutup percakapan singkat kami saat itu.
Usai sholat aku bertanya pada istri dan anakku, "mau gak kalo kita nonton bioskop?", tanyaku saat itu. "Udah lama kan kita gak nonton film?", tambahku meyakinkan ucapanku sebelumnya. Dan akhirnya kami bergegas menuju bioskop yang tadi kami lewati. Film apa yang menjadi pilihan? 99 Cahaya di Langit Eropa. Sebuah judul film yang posternya telah kami lihat dan pandangi untuk beberapa saat lamanya itu. Putaran pertama film tersebut ternyata memang telah berlalu, hingga akhirnya kami memilih untuk memilih putaran kedua. Alhamdulillah kami mendapatkan posisi tempat duduk yang bagus.
Sebenarnya ada kekhawatiran kami untuk menonton film di bioskop. Ini adalah kali pertamanya kami mengajak puteri kecil kami. Terakhir kami menonton adalah pada saat puteri kecil kami masih berusia 9 bulan dalam kandungan. Khawatir dia tidak suka dengan suasana gelap bioskop atau suaranya yang kencang. Namun ternyata ketika degupan-degupan suara serta tampilan layar yang begitu besar itu menjelma di hadapan puteri kecil kami, subhanalloh ternyata dia begitu menikmatinya. Kami pun tersenyum bahagia ... "Akhirnya bisa nonton juga", lirih kami saat itu ...
Resensi Film 99 Cahaya di Langit Eropa Part. 1
Layar dibuka dengan tampilan sebuah ruangan kelas, beberapa anak sedang menikmati kisah yang diceritakan oleh seorang wanita paruh baya. Sebuah kisah tentang kekalahan tentara Turki saat akan melakukan ekspansi di daratan Eropa. Pasukan yang dipimpin oleh Kara Musthafa tersebut akhirnya harus takluk disana dan mengakhiri masa kejayaan Islam di daratan tersebut.
Sebuah cibiran dari anak pribumi pada seorang anak kecil berjilbab keturunan Turki yang ternyata diketahui bernama Ayse memulai konflik, yang ternyata akan membuka kisah lebih jauh perjalanan Islam di Eropa pada film tersebut dan tentunya pula akan membuka mata kita tentang apa sebenarnya dan bagaimana cahaya Islam satu persatu terkuak dan berkilau di belahan benua Eropa.
Seperti film-film lainnya yang berasal dari adaptasi sebuah buku, maka film yang diadaptasi dari buku dengan judul yang sama karya Hanum Salsabiela Rais ini juga menghadirkan beberapa narasi yang mungkin terlalu sulit untuk dihadirkan dalam visual.
Adalah seorang Hanum Salsabila, tokoh utama yang akan mengajak kita untuk menyusuri hari-hari di daratan penuh cerita ini. Kita diajak untuk menyusuri satu persatu sudut indah sebuah kota bernama Vienna. Tempat dimana ia harus menjalani hari ketika mengikuti suaminya yang mendapatkan beasiswa S3 di sebuah universitas di kota tersebut.
Rasa senang dan bahagia menyusuri keindahan kota ternyata perlahan pudar, ketika rasa jenuh mulai menapaki perasaan Hanum. Terlebih ketika menyaksikan ternyata disini, untuk mendapatkan pekerjaan begitu sulit. Dia harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ketika seoarang wanita berkebangsaan Turki harus ditolak ketika ia meminta sebuah pekerjaan hanya dengan alasan wanita tersebut tidak fasih berbahasa Jerman.
Sebuah kursus bahasa Jerman akhirmnya mempertemukan Hanum kembali dengan wanita itu, Fatma Pasha. Kehadiran Fatma Pasha ternyata lambat laun telah menjadikan sebuah kekuatan baru bagi Hanum. Apalagi ketika lebih lanjut Hanum dipertemukan dengan seoarang anak perempuan kecil berjilbab yang diceritakaan pada awal tayangan film, Ayse. Menjadikan kisah selanjutnya begitu mengalir indah untuk disimak.
Kegemaran akan dunia reportase dari seorang Hanum ternyata menjadi titik temu yang begitu kuat untuk membuka kisah. Satu demi satu perjalanan mulai diurai oleh mereka, Hanum, Fatma serta Ayse. Dari sana pula satu persatu cahaya mulai berkilau menmbuka lembaran makna akan kehadiran cahaya islam di benua Eropa.
Sementara Hanum menemukan dunia barunya yang menjadikan ia semakin terpukau akan kebesaran Islam di Eropa, kisah dari Rangga sang suami dari Hanum juga menjadi pelengkap cerita yang menarik. Ia hadir dengan sebuah prestasi yang membuat penonton terkagum karena mampu menjadi bintang disebuah dunia pendidikan di benua yang menjadi idaman bagi para penggiat beasiswa. Ia dihadapkan dengan konflik cerita yang menghadirkan keragaman budaya, keragaman cara berkeyakinan serta keragaman sifat dari rekan-rekan di tempat ia menimba ilmu.
Perjalanan Hanum semakin kaya ketika ada satu plot cerita yang membawa Hanum untuk ikut serta dalam sebuah acara suaminya di Paris. Ia akhirnya menambah koleksi kekagumannya akan cahya Islam di negeri Perancis juga, setelah seorang muslimah bernama Marion, salah seorang sahabat Fatma yang bertugas sebagai agen islam di Paris mengajaknya untuk mengenal kebesaran Islam disana.
Sebuah hal yang tidak diterka sebelumnya oleh kami para penonton adalah ketika ternyata ada sebuah kisah yang terungkap akan kehidupan Ayse dan siapa sebenarnya Fatma di akhir cerita. Sebuah tanda tanya yang mengajak kami para penonton untuk tidak sabar akan bagaimana kisah 99 Cahaya di Langit Eropa part. 2.
Secara keseluruhan, penonton, termasuk kami begitu dihibur oleh keindahan Eropa, kami bukan hanya dihibur oleh menjulangnya keindahan Menara Eifel, namun ternyata begitu banyak tempat bersejarah yang jauh lebih indah dihadirkan di film ini. Tempat-tempat tersebut menyimpan satu demi satu cahaya Islam yang menjadikan Eropa begitu berkilau pada saat itu, dan insyaAlloh akan kembali suatu saat nanti. Namun ada satu yang membuat gregetan saya ketika ada sebuah adegan ketika Hanum, Fatma dan Ayse sedang menikmati makanan di sebuah restoran, kamera seakan terlalu mengekspos tampilan cara makan yang menggunakan tangan kiri, sayang sekali. Meski mungkin dari segi masakan yang disantap agak sulit jika menggunakan tangan kanan, tapi saya yakin seandainya screen ini lebih ditutup sedikit akan lebih baik lagi jadinya.
Lebih jauh, ada begitu banyak nilai-nilai Islam yang dihadirkan di film ini. Bukan hanya sejarah, atan hanya traveling saja, kami seperti disadarkan kembali untuk mengingat ini sebenarnya Islam, Islam yang lembut, Islam yang damai, serta Islam yang menghadirkan rahmat bagi sekalian alam.
Semoga film seperti ini akan menambah keyakinan kita bahwa kita bisa menjadi ummat terbaik di akhir jaman. InsyaAlloh ...
***
Sebuah langit biru menutup screen film dengan sebuah percakapan singkat antara Hanum dan Rangga yang berencana akan melanjutkan harinya dengan kisah di Cordoba. Dan aku menoleh senyum manis istriku yang saat itu juga menoleh kepadaku. Tangan kami berada dalam satu kepalan yang sama...
Hingga akhirnya setelah menyempatkan diri bermain di sebuah playground serta menikmati santap siang di sebuah resto siap saji, kaki kami terhenti tepat di depan sebuah poster besar di salah satu sudut pintu bioskop di mal tersebut.
Sejenak kami berdiri dan mematung memandangi poster tersebut. "Ini katanya bukunya bagus loh mi", ucapku membuka percakapan pada istriku. "O ya? emang ceritanya tentang apa bi?", jawab istriku. Dan aku hanya tersenyum menangkap ada rasa keingintahuan dari istriku itu.
"Yuk kita sholat dulu", ajakku sambil menutup percakapan singkat kami saat itu.
Usai sholat aku bertanya pada istri dan anakku, "mau gak kalo kita nonton bioskop?", tanyaku saat itu. "Udah lama kan kita gak nonton film?", tambahku meyakinkan ucapanku sebelumnya. Dan akhirnya kami bergegas menuju bioskop yang tadi kami lewati. Film apa yang menjadi pilihan? 99 Cahaya di Langit Eropa. Sebuah judul film yang posternya telah kami lihat dan pandangi untuk beberapa saat lamanya itu. Putaran pertama film tersebut ternyata memang telah berlalu, hingga akhirnya kami memilih untuk memilih putaran kedua. Alhamdulillah kami mendapatkan posisi tempat duduk yang bagus.
Sebenarnya ada kekhawatiran kami untuk menonton film di bioskop. Ini adalah kali pertamanya kami mengajak puteri kecil kami. Terakhir kami menonton adalah pada saat puteri kecil kami masih berusia 9 bulan dalam kandungan. Khawatir dia tidak suka dengan suasana gelap bioskop atau suaranya yang kencang. Namun ternyata ketika degupan-degupan suara serta tampilan layar yang begitu besar itu menjelma di hadapan puteri kecil kami, subhanalloh ternyata dia begitu menikmatinya. Kami pun tersenyum bahagia ... "Akhirnya bisa nonton juga", lirih kami saat itu ...
Resensi Film 99 Cahaya di Langit Eropa Part. 1
Sebuah cibiran dari anak pribumi pada seorang anak kecil berjilbab keturunan Turki yang ternyata diketahui bernama Ayse memulai konflik, yang ternyata akan membuka kisah lebih jauh perjalanan Islam di Eropa pada film tersebut dan tentunya pula akan membuka mata kita tentang apa sebenarnya dan bagaimana cahaya Islam satu persatu terkuak dan berkilau di belahan benua Eropa.
Seperti film-film lainnya yang berasal dari adaptasi sebuah buku, maka film yang diadaptasi dari buku dengan judul yang sama karya Hanum Salsabiela Rais ini juga menghadirkan beberapa narasi yang mungkin terlalu sulit untuk dihadirkan dalam visual.
Adalah seorang Hanum Salsabila, tokoh utama yang akan mengajak kita untuk menyusuri hari-hari di daratan penuh cerita ini. Kita diajak untuk menyusuri satu persatu sudut indah sebuah kota bernama Vienna. Tempat dimana ia harus menjalani hari ketika mengikuti suaminya yang mendapatkan beasiswa S3 di sebuah universitas di kota tersebut.
Rasa senang dan bahagia menyusuri keindahan kota ternyata perlahan pudar, ketika rasa jenuh mulai menapaki perasaan Hanum. Terlebih ketika menyaksikan ternyata disini, untuk mendapatkan pekerjaan begitu sulit. Dia harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ketika seoarang wanita berkebangsaan Turki harus ditolak ketika ia meminta sebuah pekerjaan hanya dengan alasan wanita tersebut tidak fasih berbahasa Jerman.
Sebuah kursus bahasa Jerman akhirmnya mempertemukan Hanum kembali dengan wanita itu, Fatma Pasha. Kehadiran Fatma Pasha ternyata lambat laun telah menjadikan sebuah kekuatan baru bagi Hanum. Apalagi ketika lebih lanjut Hanum dipertemukan dengan seoarang anak perempuan kecil berjilbab yang diceritakaan pada awal tayangan film, Ayse. Menjadikan kisah selanjutnya begitu mengalir indah untuk disimak.
Kegemaran akan dunia reportase dari seorang Hanum ternyata menjadi titik temu yang begitu kuat untuk membuka kisah. Satu demi satu perjalanan mulai diurai oleh mereka, Hanum, Fatma serta Ayse. Dari sana pula satu persatu cahaya mulai berkilau menmbuka lembaran makna akan kehadiran cahaya islam di benua Eropa.
Sementara Hanum menemukan dunia barunya yang menjadikan ia semakin terpukau akan kebesaran Islam di Eropa, kisah dari Rangga sang suami dari Hanum juga menjadi pelengkap cerita yang menarik. Ia hadir dengan sebuah prestasi yang membuat penonton terkagum karena mampu menjadi bintang disebuah dunia pendidikan di benua yang menjadi idaman bagi para penggiat beasiswa. Ia dihadapkan dengan konflik cerita yang menghadirkan keragaman budaya, keragaman cara berkeyakinan serta keragaman sifat dari rekan-rekan di tempat ia menimba ilmu.
Perjalanan Hanum semakin kaya ketika ada satu plot cerita yang membawa Hanum untuk ikut serta dalam sebuah acara suaminya di Paris. Ia akhirnya menambah koleksi kekagumannya akan cahya Islam di negeri Perancis juga, setelah seorang muslimah bernama Marion, salah seorang sahabat Fatma yang bertugas sebagai agen islam di Paris mengajaknya untuk mengenal kebesaran Islam disana.
Sebuah hal yang tidak diterka sebelumnya oleh kami para penonton adalah ketika ternyata ada sebuah kisah yang terungkap akan kehidupan Ayse dan siapa sebenarnya Fatma di akhir cerita. Sebuah tanda tanya yang mengajak kami para penonton untuk tidak sabar akan bagaimana kisah 99 Cahaya di Langit Eropa part. 2.
Secara keseluruhan, penonton, termasuk kami begitu dihibur oleh keindahan Eropa, kami bukan hanya dihibur oleh menjulangnya keindahan Menara Eifel, namun ternyata begitu banyak tempat bersejarah yang jauh lebih indah dihadirkan di film ini. Tempat-tempat tersebut menyimpan satu demi satu cahaya Islam yang menjadikan Eropa begitu berkilau pada saat itu, dan insyaAlloh akan kembali suatu saat nanti. Namun ada satu yang membuat gregetan saya ketika ada sebuah adegan ketika Hanum, Fatma dan Ayse sedang menikmati makanan di sebuah restoran, kamera seakan terlalu mengekspos tampilan cara makan yang menggunakan tangan kiri, sayang sekali. Meski mungkin dari segi masakan yang disantap agak sulit jika menggunakan tangan kanan, tapi saya yakin seandainya screen ini lebih ditutup sedikit akan lebih baik lagi jadinya.
Lebih jauh, ada begitu banyak nilai-nilai Islam yang dihadirkan di film ini. Bukan hanya sejarah, atan hanya traveling saja, kami seperti disadarkan kembali untuk mengingat ini sebenarnya Islam, Islam yang lembut, Islam yang damai, serta Islam yang menghadirkan rahmat bagi sekalian alam.
Semoga film seperti ini akan menambah keyakinan kita bahwa kita bisa menjadi ummat terbaik di akhir jaman. InsyaAlloh ...
***
Sebuah langit biru menutup screen film dengan sebuah percakapan singkat antara Hanum dan Rangga yang berencana akan melanjutkan harinya dengan kisah di Cordoba. Dan aku menoleh senyum manis istriku yang saat itu juga menoleh kepadaku. Tangan kami berada dalam satu kepalan yang sama...
Leave a Comment