Karena Bukan Malaikat
Hari ini kembali kami harus diperkenalkan dengan karyawan baru di tempat kerja. Seperti biasanya, karyawan-karyawan yang baru bergabung akan diajak berkeliling di semua area kantor. Mereka diperkenalkan dengan karyawan lama untuk tahu minimal nama atau hanya sekedar mengenal divisi yang mereka kunjungi.
Ada PR berat yang selalu saya hadapi secara pribadi ketika berada di kondisi seperti itu.
Saya mencoba berlaku biasa, melepaskan posisi duduk saya dan segera berdiri menyambut kehadiran mereka. Lalu menangkupkan kedua tangan di depan dada ketika ada karyawan perempuan dan hanya menyambut jabatan tangan dari karyawan laki-laki saja.
Sombong? Sok suci? Munafik?
Ah entahlah. Namun sampai saat ini alhamdulillah saya masih merasa lebih nyaman seperti ini.
Sejak mengenal beberapa teman saat kuliah dulu yang juga akhirnya mengantarkan saya untuk mengenal apa itu namanya mahram. Saya berusaha untuk bisa menjaganya. Menjaga tangan saya untuk tidak menyentuh telapak tangan perempuan yang bukan haknya untuk saya sentuh. Meski memang itu tidak mudah.
Saya hanya melakukan jabat tangan dengan perempuan ketika berada di tengah keluarga, di kampung atau dengan orang yang saya kenal karena pertalian hubungan saudara saja.
Pernah saya mencoba melepas kebiasaan untuk menahan jabat tangan dengan perempuan pada saat pertama kali bekerja di Jakarta. Saya berpikir saat itu karena ini Jakarta, tidak baik jika melakukan kebiasaan tersebut dan khawatir menyinggung perasaan orang lain. Namun sampai akhirnya setelah itu hati saya berkecamuk, sedih, marah bahkan benci dengan apa yang saya lakukan sendiri.
Saya menyesal!
Lalu saya mencoba tidak mengulanginya lagi. Dan mengembalikan kebiasaan saya, ternyata alhamdulillah ini lebih nyaman.
Mungkin ada yang bertanya, untuk apa saya melakukan ini? Jawabannya sederhana, karena saya tidak rela istri saya diperlakukan yang sama, disentuh oleh laki-laki lain meski hanya telapak tangannya saja.
Saya rasa bersentuhan dengan lawan jenis bukan hanya perkara yang berkaitan dengan hal membatalkan wudhu saja ketika kita akan melakukan sholat seperti yang banyak orang pahami. Namun keharusan menahan diri untuk melakukan hal ini tidak jauh berbeda dengan keharusan yang diperintahkan Alloh kepada kaum laki-laki untuk menahan pandangan. Setiap saat.
Meski senyum sinis yang lebih banyak saya terima namun tidak jarang ada juga karyawan yang tersenyum tulus menerima apa yang saya lakukan ini. Hingga saya alhamdulillah pernah merasa terkesan dengan salah seorang expat perempuan kulit hitam berkewarganegaraan Amerika yang langsung mengenal saya dibanding karyawan di divisi tempat saya bekerja karena saya melakukan kebiasaan ini.
Semoga Alloh memberikan pemahaman kepada mereka atas apa yang saya atau kami lakukan dengan hal ini. Saya menyadari saya hanya manusia biasa. Namun perkenankan saya untuk mencoba memiliki keinginan untuk menjadi diri yang lebih baik meski tak akan mungkin bisa seperti malaikat karena memang bukan malaikat. Semua ini hanya demi yang terbaik untuk pasangan kami dan keyakinan kami, insyaAlloh. Maafkan saya..
Wallohu'alam bish-shawab...
Ada PR berat yang selalu saya hadapi secara pribadi ketika berada di kondisi seperti itu.
Saya mencoba berlaku biasa, melepaskan posisi duduk saya dan segera berdiri menyambut kehadiran mereka. Lalu menangkupkan kedua tangan di depan dada ketika ada karyawan perempuan dan hanya menyambut jabatan tangan dari karyawan laki-laki saja.
Sombong? Sok suci? Munafik?
Ah entahlah. Namun sampai saat ini alhamdulillah saya masih merasa lebih nyaman seperti ini.
Sejak mengenal beberapa teman saat kuliah dulu yang juga akhirnya mengantarkan saya untuk mengenal apa itu namanya mahram. Saya berusaha untuk bisa menjaganya. Menjaga tangan saya untuk tidak menyentuh telapak tangan perempuan yang bukan haknya untuk saya sentuh. Meski memang itu tidak mudah.
Saya hanya melakukan jabat tangan dengan perempuan ketika berada di tengah keluarga, di kampung atau dengan orang yang saya kenal karena pertalian hubungan saudara saja.
Pernah saya mencoba melepas kebiasaan untuk menahan jabat tangan dengan perempuan pada saat pertama kali bekerja di Jakarta. Saya berpikir saat itu karena ini Jakarta, tidak baik jika melakukan kebiasaan tersebut dan khawatir menyinggung perasaan orang lain. Namun sampai akhirnya setelah itu hati saya berkecamuk, sedih, marah bahkan benci dengan apa yang saya lakukan sendiri.
Saya menyesal!
Lalu saya mencoba tidak mengulanginya lagi. Dan mengembalikan kebiasaan saya, ternyata alhamdulillah ini lebih nyaman.
Mungkin ada yang bertanya, untuk apa saya melakukan ini? Jawabannya sederhana, karena saya tidak rela istri saya diperlakukan yang sama, disentuh oleh laki-laki lain meski hanya telapak tangannya saja.
Saya rasa bersentuhan dengan lawan jenis bukan hanya perkara yang berkaitan dengan hal membatalkan wudhu saja ketika kita akan melakukan sholat seperti yang banyak orang pahami. Namun keharusan menahan diri untuk melakukan hal ini tidak jauh berbeda dengan keharusan yang diperintahkan Alloh kepada kaum laki-laki untuk menahan pandangan. Setiap saat.
Meski senyum sinis yang lebih banyak saya terima namun tidak jarang ada juga karyawan yang tersenyum tulus menerima apa yang saya lakukan ini. Hingga saya alhamdulillah pernah merasa terkesan dengan salah seorang expat perempuan kulit hitam berkewarganegaraan Amerika yang langsung mengenal saya dibanding karyawan di divisi tempat saya bekerja karena saya melakukan kebiasaan ini.
Semoga Alloh memberikan pemahaman kepada mereka atas apa yang saya atau kami lakukan dengan hal ini. Saya menyadari saya hanya manusia biasa. Namun perkenankan saya untuk mencoba memiliki keinginan untuk menjadi diri yang lebih baik meski tak akan mungkin bisa seperti malaikat karena memang bukan malaikat. Semua ini hanya demi yang terbaik untuk pasangan kami dan keyakinan kami, insyaAlloh. Maafkan saya..
Wallohu'alam bish-shawab...
Leave a Comment